Muak. Sekali lagi aku menyerah untuk berargumen tentang kehidupan. Ekspektasi manusia adalah hal yang mudah dipatahkan. Kebenaran bukan sesuatu yang mutlak, tetapi bergantung dari mana sudut pandangnya.
Contoh buruknya adalah aku; Im Bora. Wanita yang mengeluh 1001 kali sehari dan berpikir telah menjadi manusia paling menderita di dunia ini. Siapa sangkah aku akan duduk di sini, bersebelahan dengan pria yang berhasil mengentuk hidup monotonku. Membawa sebongkah rahasia yang berhasil mengubah pandanganku terhadap manusia seperti kami.
Tidak ingin munafik, kuakui mungkin aku benar-benar memberi satu tempat bagi si Poker dalam lipatan hati. Kendati ada rasa yang berbeda saat ia sesekali meraih jemariku tatkala salah menekan tuts piano. Mengarahkannya pada tuts yang benar.
Awalnya memang aku berpikir rasa itu ada karena aku yang tidak pernah berinteraksi sedekat ini dengan lawan jenis. Namun, debaran dalam dada kala tak sengaja bertemu dengan binar gelapnya yang suram, mematahkan argumenku.
Sayangnya, menyadari adanya rasa justru semakin membuat jeratan takdir di leherku semakin mengerat. Mencoba berteriak agar aku sadar bahwa kami tidak bisa berada di pihak yang sama. Aku adalah musuhnya dan dia adalah musuh pekerjaanku.
"Kau diam sedari tadi, gigimu sakit?"
Aku acuh bukan bermaksud buruk. Nada-nada dari tuts piano itu hanya kujadikan pelampiasan atas gugup yang menggerogoti tubuh ini.
Sayangnya, aku tidak bisa lari lebih lama. Si Poker menahan jemariku sebelum menyentuh piano lagi. Hal tersebut sontak buat kutolehkan kepala untuk melihat ke arahnya. Sial, aku malah bertemu dengan sekembar netranya saat ia berkata, ""Aku tidak suka orang yang diam ketika ditanya."
"Kau selalu begitu."
Selanjutnya dia tersenyum lagi mungkin tidak menduga mendengar balasan seketus itu. Sungguh sosok yang kini bersamaku seolah disihir menjadi orang lain. Dia bukan si Poker yang pemalas apalagi Min Yoongi. Lalu siapa sebenarnya dia? Seberapa banyak kepribadian yang dia punya?
"Aku diam karena menunggumu bicara. Bukankah kau bilang ingin membicarakan sesuatu padaku, Suga-ssi?"
"Benar juga," sahutnya terkekeh kecil.
Semuanya benar-benar salah. Pertemuanku dengannya adalah kesalahan terbesar. Akhirnya akan fatal jika kami benar-benar semakin dekat. Aku tidak ingin kami akan menyesali perasaan ini suatu saat nanti. Maka rahasia itu harus terbongkar segera agar aku bisa pergi. Jika bisa, lari sejauh mungkin dari hidup si Poker dan menatah hidupku lagi.
"Boleh aku bertanya?" tanyaku.
Si Poker hanya mengangguk kecil sembari mengisap rokok yang masih bertengger di bibirnya itu. Namun, itu tak berlangsung lama kendati tanganku beralih menarik benda itu dari bibirnya. Abai akan tatapan protes darinya. Puntungnya kujatuhkan ke lantai, lalu kuinjak agar padam.
"Merokok itu tidak baik. Aku tidak ingin temanku mati cepat karena kanker akibat rokok."
"Merokok tak merokok, aku akan tetap mati nanti ... dengan cara yang keren," tuturnya tak anyal buat aku aku segera lempar tatap tidak suka.
Manusia memang seperti itu. Mereka akan mencoba lari dari lara dengan lancang menyebut kematian. Masalahnya adalah sanggupkah dia mati dengan keadaan semengerikan ini? Apa dia berpikir Tuhan akan menyambutnya dengan hangat setelah dia merenggut dua nyawa?
KAMU SEDANG MEMBACA
POUR Y √
FanfictionMereka memanggilnya sebagai pendosa. Namun, bagiku ia hanyalah orang yang kutemui di sudut studio piano sendirian. Si manusia malang yang mencoba membunuh rasa kesepian yang mencekiknya hingga akhir. Pour Y : Untuk Y Started : August 28, 2020 Finis...