POUR Y: 0.4

216 28 41
                                    

Ngilu dari dada yang tertahan membuat aku meremas ujung jaketku sebagai pelampiasan. Aku mengatupkan mata sejenak selagi mencoba menyakinkan diriku sendiri untuk tidak mengambil hati rentetan makian yang kini melesat dari bibir wanita berumur akhir enam puluhan itu. Hati dan kepala harus dingin untuk mengahadapi orang yang tidak bisa mengendalikan amarah.

"Kau ini memang selalu menyusahkan. Minta atasanmu itu untuk tidak melibatkan kakakmu dalam masalah kriminal!"

Selalu tentang kakakku—ya—itulah kesalahanku. Satu-satunya kesalahan yang selalu membuatku menghadapi masa sulit seperti sekarang adalah kenapa aku harus lahir sebagai adik Im Yunjin. Apapun yang menimpahnya penyebabnya pasti aku di mata wanita tua yang tak lain adalah nenekku itu. Apapun yang ada di Im Yunjin adalah kekuranganku.

Mungkin aku hanya satu dari ratusan anak di luar sana yang mendapat perlakuan tidak adil dari keluarga. Dibanding-bandingkan dengan sosok yang seharusnya kujadikan panutan. Bahkan nenek yang kujadikan sebagai pengganti ayah dan ibu selalu pusatkan perhatiannya pada kakakku dan menganggapku benalu. Darah yang mengalir dalam sel tubuh kami masih sama, tetapi mengapa aku merasa asing?

Pagi ini Yunjin dipanggil ke kantor MPV untuk dimintai keterangan perihal kasus penemuan mayat beberapa hari lalu karena kami orang terdekat yang tinggal di sekitar TKP. Namun, meski aku mengatakan bahwa aku tidak lagi bekerja di sana, nenek masih menganggap akulah yang melibatkan kakak dalam kasus ini.

Selalu aku, aku, dan aku.

"Cepat jemput kakakmu! Jangan kembali sampai kakakmu kembali," teriaknya yang masih lantang di usia senja sembari melempar kunci mobil padaku. Alhasil, benda itu jatuh ke lantai sebelum aku tangkap.

Aku berjongkok memungut kunci mobil. Masih dengan perasaan ogah-ogahan aku memberi pembelaan dengan berkata, "Aku tidak bekerja di sana lagi. Polisi pasti mengantarnya pulang. Lagipula aku sudah terlambat ke tempat kerja baruku, Nenek."

"Ya, sudah, pergilah bekerja dan jangan kembali. Pergilah ke orang tuamu!"

Sakit? Tentu saja, hati kecilku telah merintih kesakitan mendengar ucapan itu. Akan tetapi, ibaratkan rasa pedas; meski membakar, akan terasa biasa saja jika sudah dicicipi setiap hari. Begitu juga dengan semua yang nenekku katakan.

Aku membungkuk hormat pada wanita tua itu sebelum akhirnya memutar tubuhku keluar rumah. Menelan segudang pertanyaan dalam diriku. Tentang bagaimana bisa orang tuaku memutuskan untuk meninggalkan aku dan diasuh oleh orang dengan mulut sekasar itu.

"Eomma, di mana kau sekarang?" gumamku yang hanya didengar semilir angin pagi itu.

--oOo--

Kedua kelopak mataku memicing tatkala mendongak menatap terik matahari yang bukan main panasnya. Decakan keluar dari bibir, kukibas-kibaskan tangan ke arah wajah guna mendapatkan sedikit kesejukan, tetapi itu hanya sia-sia.

Maka sumpah serapah kini keluar diiringi decakan sebal. Terkutuklah siapapun yang mengintrogasi Yunjin di dalam sana. Sudah hampir satu jam aku berdiri di depan kantor polisi, tetapi kakak belum muncul juga. Untunglah aku sempat menelepon Tuan Kang untuk meminta pengertian jika aku terlambat membuka studio.

"Im Bora?"

Kepalaku menoleh spontan ke arah namaku disuarakan. Di sana kudapati seorang wanita dengan surai panjang yang dikuncir tinggi tersenyum dengan gestur tubuh seolah kami bukan dua orang asing yang baru bertemu. Aku tidak serta-merta menjawab, masih mencoba mengingat agaknya siapa wanita berparas cantik itu. Di lehernya tergantung kartu identitas anggota MPV, kurasa dia juga seorang polisi.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang