POUR Y: 0.8

163 20 13
                                    

Tungkaiku menyusuri lorong rumah sakit yang agak ramai kala itu. Tujuanku adalah meja administrasi. Setelah menghabiskan waktu setengah jam, menunggu si Poker sadar untuk membicarakan siapa keluarga yang harus kuhubungi, aku memilih menyerah. Pria itu tidak kunjung bangun, alhasil agar dia tetap mendapat penanganan medis, aku harus korbankan uangku yang hanya tinggal beberapa lembar di dompet untuk administrasinya.

Sial juga, aku malah membiayai pria yang beberapa hari lalu menjadi mantan kekasih kakakku.

"Nona, uangnya?"

Ah, berat sekali rasanya melepas beberapa lembar uang itu. Lihat saja nanti, saat si Poker itu telah sembuh, dia harus mengganti uangku dua kali lipat, hitung-hitung sebagai ganti rugi pundakku yang sakit karena harus menahan tubuh beratnya.

"Pembayarannya sudah selesai, Nona."

Aku hanya tersenyum pada perawat pria di balik meja kasir. Membungkuk sejenak kemudian memutar tubuhku dengan amat malas. Benar-benar hari yang menyusahkan. Suasana hatiku semakin kacau saat mendapati langit sore itu sangat gelap. Awan hitam terlihat menebal dan siap tumpahkan hujan deras.

Lantas langkah sedikit kupercepat, berharap hujan tidak segera mengguyur Seoul kendati aku tidak membawa payung.  Benar-benar tidak ada persiapan untuk menyambut hujan. Namun, sepertinya aku lupa bahwa hidupku ini ber-genre komedi lantaran hanya beberapa saat setelah kupanjatkan doa, rerintik hujan sudah mulai terasa menyentuh kulit.

Kupererat mantelku sejenak, lalu mengayun tungkai lebih cepat. Menerobos gerimis agaknya bukan masalah yang terlalu besar.

Seoul menjadi ribut kala itu. Para manusia sibuk berlalu-lalang dengan segala urusan yang menunggu. Mungkin aku hanya satu dari sekian orang yang tidak berharap hujan turun hari itu.

Aku menggosokkan kedua telapak tangan, guna menciptakan kehangatan lantaran dingin yang sudah merambat melalui telapak tanganku yang tak tertutupi oleh mantel. Rintik hujan pun mulai mengamuk dan berubah menjadi deras. Mau tak mau, aku harus mencari tempat berteduh jika tidak ingin ingus keluar dari hidungku.

Pilihanku jatuh pada sebuah kafe di mana beberapa orang terlihat berteduh di bawah atap terasnya. Maka, aku bergabung dengan orang-orang yang menunggu hujan redah hari itu.

"Aduh, dingin sekali," keluhku.

Sesekali, aku menatap sekeliling. Menatap beberapa orang yang memilih basah demi sampai di tempat tujuan. Tak sedikit juga, orang-orang berlalu-lalang dengan payung berbagai warna. Sedangkan orang-orang yang berteduh bersamaku pun terlihat pasang bermacam-macam reaksi. Ada yang tampak menikmati hujan, ada pula yang tampak resah menunggu redahnya hujan.

Hujan ditunggu serta tak diharapkan oleh beberapa orang. Sayangnya, aku tak tahu aku termasuk golongan yang mana. Aku benci terhalangi, tetapi selalu merasakan kesenduhan serta kenyamanan saat melihat dan merasakan hujan. Kurasa inilah yang disebut 'jangan mencintai atau membenci sesuatu terlalu berlebihan'.

Puas memandangi langit suram ibu kota yang tidak ada tanda-tanda akan cerah, kini netraku teralihkan ke dalam kafe. Mungkin bukan ide buruk untuk masuk dan menikmati segelas kopi hangat di dalam. Meskipun itu akan sukses membuat uangku benar-benar habis. Daripada aku berdiri mengantuk di sini, lagipula tempat mulai sempit karena semakin banyak yang singgah untuk berteduh.

Melewati beberapa tubuh yang menghalangi, aku beberapa kali mengucapkan permisi untuk lewat menuju pintu kafe. Beberapa orang memberi jalan, ada pula yang pura-pura tidak dengar. Dasar manusia norak yang tidak pantas hidup di kota.

Berhasil lepas dari kerumunan, aku baru saja hendak membuka pintu kafe. Namun, siapa sangkah sesuatu yang datang dari belakang tiba-tiba menabrak tubuhku.

Aku menoleh, siap layangkan protes. Akan tetapi ternyata hal itu adalah kesialan lain yang datang padaku hari ini. Pasalnya pria jangkung yang menabrakku tiba-tiba berseru, "Bora?"

"Ketua Kim? "

--oOo--

Dalam hati kini telah tertahan rentetan gerutu kesal. Aku mungkin harus menyesali keputusanku untuk berteduh di kafe ini. Pasalnya, alih-alih duduk menikmati kopi dengan damai, aku malah berakhir duduk semeja dengan pria yang buat aku menahan perasaan dongkol. Pria yang kini menyeruput kopinya dengan wajah yang sangat ingin sekali kutinju hingga bengkak.

Kim Namjoon, melihat wajahnya yang sialan, tampak sangat gagah di usia yang hampir pertengahan kepala tiga itu membuat segelintir ingatan saat ia memecatku, terbayang. Bahkan ia enggan peduli bahwa saat itu aku sedang di masa krisis keuangan lantaran nenekku tak ingin membiayaiku. Sekarang, dia malah mengiming-imingiku traktiran kopi asal aku mau duduk bersamanya.

"Bagaimana dengan tawaranku saat itu?"

Aku tersentak semu tatkala suara husky yang terdengar sangat berwibawa itu merengsek menarik laju lamunanku. Netra hitam milikku yang semula menatap tetesan air hujan yang tak lagi deras, bergulir menatap sepasang netra si Namjoon sialan.

Perlahan aku meraih gelas kopi pesananku yang sempat terabaikan, menyeruputnya pelan sembari kutatap wajah si Namjoon itu. "Bisakah kau selipkan kata tolong?"

Ya Tuhan, ingin sekali kuabadikan wajah terkejut itu. Kupajang di ruang diskusi MPV supaya setiap hari bisa dilihat oleh para anggota, bagaimana wajah ketua mereka yang tampak konyol.

Aku menyeruput kopiku lagi, sengaja menyesapnya pelan untuk menikmati kepuasan menjatuhkan wibawa Namjoon. Kemudian aku kembali berucap, "Detektif bodoh, aku ingat sebutan itu  kau berikan padaku, Ketua Kim. Dan sekarang kau meminta Deterktif bodoh ini kembali?"

"Kau memang bodoh."

Sialan. Sudah dalam keadaan terdesak saja, si Kim itu masih angkuh dan berani-beraninya menyebutku bodoh. Bahkan wajahnya itu, ia menatapku dengan tatapan sombongnya yang kentara. Tentu saja, aku tak akan kalah darinya, saat ini si Namjoon itu yang membutuhkanku. Jadi, tak akan kubiarkan ia berbuat seenaknya lagi.

Aku beranjak dari kursi yang sudah ikut basah. Hendak meninggalkan si Kim itu di sana. "Wah, tak salah orang-orang memanggilmu si jujur, Ketua," ucapku sebelum berbalik badan.

"Tak ada untungnya menjadi pembohong, Bora-ya. Aku tahu kau melihat si pelaku pembunuh Kim Taebin malam itu, lalu kenapa kau berbohong, mengatakan saat introgasi bahwa kau tak melihat apa-apa?"

Langkahku tiba-tiba terhenti diiringi serangan terkejut yang untungnya masih bisa kukendalikan. Saat menoleh lagi, kulihat Namjoon tertawa hingga dua lubang di pipinya yang mempermanis senyumnya terlihat. Namun, di mataku senyum itu terlihat mengerikan sekarang.

"Jika kau berpikir ini hanya tuduhan tidak beralasan, kau salah. Im Yunjin, kakakmu sendiri yang mengatakan bahwa dia menemukanmu di sekitar TKP di waktu yang berdekatan dengan waktu kematian Kim Taebin."

Suara berat milik si pria Kim membuat darahku berdesir hebat. Kalimat yang terlontar dari bibirnya seakan menamparku pada kenyataan bahwa aku sedang menjadi pengecut yang menyembunyikan informasi yang bisa menjadi barang bukti atau bisa saja membuat aku dicurigai sebagai tersangkah. Tungkaiku beku tak dapat melangkah lebih jauh lagi. Membiarkan kegundahan kembali mencekik ketenanganku.

"Kakakmu tidak mengatakan itu pada saat introgasi, tetapi memberitahuku secara pribadi. Aku percaya padamu, Bora. Jadi bergabunglah bersama kami atau kau benar-benar akan dipanggil sebagai tersangkah."

Sial! Dasar pria licik.

POUR  Y

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang