POUR Y: 10

166 21 29
                                    

Sorot mataku terkunci di sana. Menatap penuh luka pada nama yang terterah di layar ponsel sembari menahan rasa ngilu di uluh hati. Jujur masih ada teriakan-teriakan kecil dari egoku untuk berhenti. Niat memilih menghapus nomor milik orang itu dan tak mengusik hidup barunya. Ia telah memiliki dunia baru yang mungkin jauh lebih baik dari hidup yang ia jalani dulu-barsama kami. Namun, nyatanya aku tak punya keberanian untuk menghapus kenangan itu.

Aku masih menyayanginya, aku juga masih membencinya, pun masih menaruh kecewa padanya. Sayangnya, jika aku mengambil langkah seperti apa yang egoku sampaikan, sama saja aku hanya memikirkan diriku sendiri-dendamku sendiri. Yunjin masih anaknya, nenekku masih ibunya, dan tak ada salahnya aku meminta tanggung jawab dirinya sebagai seorang ayah dan anak.

Menghancurkan sedikit demi sedikit ego dalam diriku, lantas aku menekan tombol di sana, hingga terdengar suara yang menandakan bahwa nomor dengan nama 'Ayah' itu sudah tersambung.

Sial. Tanganku semakin gemetaran. Otak malasku bekerja cukup rajin kali ini, kendati berbagai macam pikiran berlebihan menyebar dalam kepalaku. Akan lucu jadinya jika ia tak mengingat nama yang dulu ia berikan padaku, akan menyedihkan jika nantinya ia mengucapkan banyak alasan untuk menolakku.

Aku takut. Takut merasa kecewa lagi.

"Hallo, ini kediaman Tuan Im."

Itu suara wanita, atau mungkin remaja perempuan. Kudengar, istri baru ayahku juga memiliki anak perempuan di pernikahan sebelumnya, mungkinkah dia?

"Hallo?"

"Ya?" jawabku kikuk. "Ah, maaf. Aku ingin bicara dengan Im Bara."

"Atas nama siapa?"

Aku terdiam sejenak. Merintih kesal dalam hati kendati bibir ini meragu kala hendak menyebut nama itu. Nama yang selalu mengingatkanku pada namanya, kendati nama kami hanya dibedakan oleh huruf kedua. Seakan sengaja membuatku tak melupakan semuanya.

"Im Bo-ah maksudku, namaku Bora."

"Ayah, ada telepon untukmu dari Bora!" teriaknya lantang. Ternyata dia benar-benar suadari tiriku. Jujur saja, aku iri dia bisa memanggil pria itu dengan sebutan yang sudah lama hilang dalam hidupku. "Ayah?"

"Bora?"

Kala suara itu merambat menyapu runguku, seluruh tenagaku meleleh meluruh di lantai. Gemetar tanganku bertambah hingga ponsel yang tadinya bertengger di telinga sudah jatuh menabrak tanah. Suara itu lembut, tetapi mengapa aku mendengar sebuah bentakan? Mengapa bayangan hitam putih itu kembali berputar dalam ingatanku?

Suara pintu dipukul, suara vas bunga yang berceceran pecah di lantai, suara bentakan yang menyebut namaku, suara tamparan itu kembali hadir. Wajah itu hadir lagi. Wajah serta sekembar netra yang menyorot tajam ke arahku.

Suara tangisku, serta tangis ibuku, aku kembali mengingatnya. Juga sosok nenek dan kakakku yang berdiri mematung menyaksikan kemurkahan itu ditumpahkan padaku dan ibuku, kembali menyumbati netraku.

Kurasa, aku bener-bener tak bisa. Aku akan terus menyimpan kenangan itu-serta menyimpan kekecewaan itu. Maka kini aku berusaha menyadarkan diriku yang tersesat. Aku tak butuh Im Bara

Maka dari itu, kini aku memungut ponselku. Mengusap air mata yang sempat jatuh dari mata mendungku. Mulai berjalan ke tempat tujuan awalku dengan badai dalam pikiran yang entah kapan akan meredah.

Jika diberi kesempatan, sekali saja aku ingin bertanya pada sosok bernama Tuhan. Meminta penjalasan tentang takdir apa sebenarnya yang ia tuliskan untuk hidupku. Rasanya, di antara banyaknya orang, hanya aku yang selalu ia berikan masalah. Mungkinkah ia dendam padaku karena aku jarang ke gereja? Seandainya iya, aku akan mengunjungi tempat itu setiap hari asal ia menarik semua pelik kehidupan yang menimpahku sekarang. Sangat berat, aku tak bisa memikul semua beban itu.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang