POUR Y: 16

86 16 10
                                    

Maaf, maafkan aku. Kau terbakar, aku melukaimu, maaf.

Sederas hujan di luar sana, kepalaku dihantui deretan pertanyaan yang dipicu oleh kejadiaan sial sore ini. Min Yoongi—dia benar-benar berubah menjadi pribadi yang berbeda saat melihatku ditimpa oleh lilin itu. Wajahnya saat dikejar-kejar polisi bahkan tidak sepanik itu. Lalu apa aku harus percaya diri bahwa dia mengkhawatirkanku? Kurasa tidak. Reaksi itu lebih dalam jika hanya sekedar kekhawatiran.

Sorot matanya bagai melihat hal yang paling mengerikan. Aku tahu, mata adalah indra manusia yang sulit untuk berdusta. Reaksi itu kurasa mirip dengan serangan panik yang kuderita setiap kali mendengar tentang Im Bara—ayahku.

Apa ini artinya psikologinya cacat? Akankah api ada hubungannya dengan pembunuhan berantai ini?

"Tanganmu tak apa?"

Kembali dari sekelebat reka adegan di dalam pikiranku, netraku segera bergulir ke arah pertanyaan itu dilempar. Sosok wanita dengan surai digerai anggun itu menatapku dengan amat risau. Yunjin memang kakak yang amat perhatian.

Ya, selepas mendengar kegaduhan melalui earphone, Namjoon segera menghubungi Yunjin untuk menjemputku. Tim yang disiagakan tidak bisa bertindak kendati hal itu akan menimbulkan keributan dan mungkin saja aksi kami akan terendus polisi

Puas menatap kakak, netraku kembali menatap lenganku yang sudah diperban. Debaran jantungku memacuh seiring rasa penasaran yang semakin memuncak.

"Bora jangan diam saja! Apa yang terjadi di sana? Ah, aku 'kan sudah sering bilang kalau Suga itu bahaya. Astaga, ini semua salahku." Yunjin berucap amat frustasi, bahkan kulihat ada kesedihan dan rasa bersalah dari binarnya kala ia berbisik,"Aku hanya beban bagimu."

"Mwoya? Kau tidak pantas mengatakan itu setelah semua usahamu merawatku selama ini, Eonni," kataku membantah.

Sial, suasana menjadi semakin tidak menyenakan. Jika tidak ditangani secepatnya, kami akan tenggelam dalam duka mengingat masa muda kami yang begitu malang. Untungnya, sebelum Yunjin kembali melontarkan alasan bahwa dia gagal menjadi kakak untukku, atensi kami teralihkan pada denting ponsel.

Kakak serahkan ponselku yang sempat ia simpan selagi dia mengobati lukaku. Di mana segera kuterima dengan tangan kiri lantaran tangan kanankulah yang terluka.

Tuan Kang : Yang di studio itu kau, Bora? Aku dapat informasi bahwa pintu studio terbuka.

Kepalaku yang semula tertunduk untuk membaca pesan telah mendongak panik bersamaan dengan pintu kamarku yang terbuka. Sosok Namjoon dan Taeri muncul di sana juga ikut keherangan dengan tingkahku.

Namjoon mengikis jarak sembari angkat suara. "Ada apa?"

Belum kuberi jawaban atas pertanyaan itu. Di kepalaku kembali bergelut asumsi-asumsi tentang siapa yang berani memasuki studio yang telah ditutup beberapa minggu itu? Jawaban yang kutemukan hanya mengarah pada satu orang. Sosok yang punya obsesi terhadap piano tua di studio—Min Yoongi.

Taeri ikut mendekat ke arah ranjang di mana aku masih terduduk. Dia meletakkan sebuah map di sampingku selagi ia berkata, "Aku sudah memeriksa jejak kesehatannya. Belum ada laporan medis yang menyatakan dia pernah menjalani terapi psikologi."

Selanjutnya tindakan yang kuambil buat orang-orang di ruangan ini kebingungan dan terkejut. Pasalnya, mengabaikan berkas yang dibawa Taeri, aku malah berdiri dengan terburu-buru dan merebut kunci mobil yang dipegang wanita Kim.

"Hei! Ada apa?"

Sebelum benar-benar membuka pintu, aku menoleh sejenak untuk memberi instruksi.

"Jangan mengikutiku," pintahku sesaat sebelum berlari keluar. Mengabaikan teriakan Namjoon yang memerintahkanku untuk berhenti atau setidaknya menjelaskan keadaan genting apa yang terjadi.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang