Apa yang sebenarnya yang sebenarnya kau sembunyikan? Separah apa luka yang meradang di hatimu hingga kau yang miliki wajah menyebalkan, berubah menjadi menyedihkan.
Byurr!
Aku meraup udara sebanyak-banyaknya seolah akan mati. Kedua kelopak mataku bahkan telah terbuka dikarenakan sengatan mendadak yang kurasakan. Punggungku yang semula tertekuk dan bersandar pada dinding menegak juga saking terkejutnya.
"Maaf menyirammu, kukira kau mati."
Netraku bergulir ke samping di mana sudah kudapati tampang yang sangat tidak mengenakkan untuk dipandang saat baru terbangun. Tidak terlalu mengambil pusing ucapan kurang ajarnya, aku mengusap wajahku yang telah basah. Sudah pasti pelakunya adalah pria yang juga memegang botol air mineral itu.
"Kau terus menyebut si Poker dalam tidurmu," ungkapnya sembari ia ikut mendaratkan bokongnya di lantai berdebu ini, bersimpuh sama sepertiku. "Apa dia pacarmu?"
Maaf saja, aku tidak sudi berpacaram dengan pria tampang kusut sepertimu.
Nyawaku sudah terkumpul sepenuhnya. Aku mungkin tidak ingat kapan aku mulai tertidur dengan posisi duduk di samping pintu. Jelasnya, semalaman aku memutuskan untuk tetap di sini dengan tujuan yang sebenarnya tidak juga kumengerti. Hati kecilku hanya tidak tega meninggalkan sosok menyedihkan yang tangisnya tidak dipedulikan orang lain.
Sebagai seseorang yang suka menangis sendirian di sudut kamar, aku mengerti bagaimana menyakitkan rasa kesepian itu.
Sejenak, aku masih bungkam selagi menatap wajah itu. Meski tidak ada lagi jejak air mata di sana, tetapi mata bengkaknya memperjelas bahwa ia menangis semalaman dan mungkin juga berakhir ketiduran.
Masih terasa tidak nyata. Dengan kedua mataku ini, aku melihat Min Yoongi menangis pilu.
"Kenapa kau di sini?"
"Aku yang seharusnya menanyakan hal itu. " Tak ada penekanan dari vokal suaraku saat kalimat itu keluar dengan sendirinya tanpa kurencanakan. "Kenapa kau di sini, Min Suga?"
Sepasang binar gelap yang hanya mengintip sedikit di antara kelopak mata yang sipit itu, menatapku dengan seksama cukup lama. Debaran jantungku kembali berpacuh lebih cepat, mungkin karena aura yang dingin dari netra sehitam obsidian milik si Poker. Kurasa aku memang mulai takut, bukan pada kenyataan bahwa dia adalah seorang pembunuh berantai, melainkan karena dia menyembunyikan banyak rahasia.
"Sejauh apa kau melihatku semalam?"
"Aku melihat semuanya, Suga. Air matamu, aku melihatnya," ucapku mantap.
Lagi-lagi hanya kebisuan yang kudapatkan setelah berucap. Presensi di hadapanku seakan mengungkapkan sesuatu hal yang tidak bisa ia uraikan secara lisan, melalui sorot matanya. Sialnya, kali ini aku tidak bisa membaca apapun di sana. Mata itu terlalu mengintimidasi.
Ruangan yang hanya memiliki satu jendela yang saat ini tertutup rapat ini seakan semakin menyempit. Tak anyal membuat udara mencekik tenggorokan. Deretan kalimat pun seolah tertelan dengan sendirinya. Membiarkan kebungkaman mengambil alih cukup lama.
Hingga satu embusan napas panjang memecah suasana canggung. Begitupun keluarnya sebaris pertanyaan dari bibir pucat itu. "Bagaimana tanganmu?" tanyanya keluar topik pembicaraan.
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Katakan mengapa kau menangis semalam?"
"Sudahlah."
Udara ikut berembus gusar dari belah bibirku selepas itu vokal suaraku akhirnya meninggi. "Katakan!"
"Ini semua karenamu!" jawabnya ikut membentak. Kupikir kekesalanku sangat besar, tetapi sesuatu yang memancar dari sekembar netra si Poker lebih tampak frustasi. "Aku tak suka melukai wanita, apalagi dengan api."
KAMU SEDANG MEMBACA
POUR Y √
FanfictionMereka memanggilnya sebagai pendosa. Namun, bagiku ia hanyalah orang yang kutemui di sudut studio piano sendirian. Si manusia malang yang mencoba membunuh rasa kesepian yang mencekiknya hingga akhir. Pour Y : Untuk Y Started : August 28, 2020 Finis...