Kakiku menapak rerumputan di samping lapangan basket kala berhenti. Sejenak kugunakan waktu untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lantaran jantung sudah berpacuh tidak karuan. Terik matahari bukan main panasnya hari ini. Kepalaku yang kutolehkan ke kanan ke kiri sebenarnya sudah pening. Namun, ini bukan saatnya aku menyerah. Aku harus menemukan si Poker yang entah ke mana hari ini.
Ponselnya berkali-kali kuhubungi, tidak ada tanggapan sekali pun. Bahkan aku sudah mendatangi rumahnya, tetapi nihil tetap tidak ada tanda-tanda bahwa dia ada di sana. Lapangan basket ini pun sudah kususuri beberapa kali, tidak ada petunjuk apapun.
Aku benci ini, saat peraaaanku mendadak bergejolak aneh. Aku benci saat prasangkah buruk membayangi pikiranku. Sesuatu bisa saja terjadi pada si Poker.
"Suga!"
Tenggorokanku rasanya sudah merintih minta ampun. Tidak kuat menahan lelah, aku akhirnya bersimpuh di atas rerumputan liar. Mengistirahatkan tubuhku yang hampir bermandikan keringat sembari memikirkan hal selanjutnya yang harus kulakukan untuk menemukan si pria Min sialan itu. Memang sial, semakin aku berpikir mencari solusi, anggapan-anggapan buruk semakin menumpuk di labirin kepalaku hingga pikiran jernih tidak bisa mengalir.
Setelah semua yang terjadi dalam hidupnya, apa yang si Poker lakukan sekarang? Tidak lucu jika aku terlambat. Bagaimana jika polisi telah menemukan bukti konkrit yang bisa memberatkannya dan ia kini ditahan? Atau kenyataan lebih buruknya adalah bagaimana jika ia mengetahui identitasku dan membenciku? Kabur dariku dan tidak ingin menemuiku lagi. Pergi tanpa pamit sama seperti ayah dan ibu. Kumohon jangan sampai asumsi sialan ini menjadi kenyataan.
"Bora ... Bora kau dengar aku?"
"Iya."
"Aku baru saja ke studio, dia tak ada di sana. Apa menurutmu dia kabur? Kau di mana sekarang?"
Satu helaan napas frustasi lolos dari bibirku. Gejolak di dada semakin mengamuk karena laporan itu. Belum lagi, berbagai laporan dan pertanyaan dari tim yang berpencar mencari si Poker membuat kepalaku rasanya ingin meledak.
Aku mengusap wajah kasar sebelum menjawab dengan tak semangat. "Aku tidak tahu, aku pusing."
Selepas itu aku akhirnya memilih berdiri lagi dan memacuh langkah menuju halte. Mobil hitam properti MPV yang diwewenangkan padaku terparkir di sana. Di dalamnya ada Aerin dan Jungkook yang kuminta untuk menunggu. Dari earpiece pun, tidak terdengar suara gaduh lagi meski kutahu Namjoon masih terhubung. Dia memindahkan saluran hingga hanya dirinyalah yang bisa menghubungiku.
"Aku akan mengurus di sini."
"Terima kasih, Ketua."
Sampai di halte, tubuhku membungkuk untuk melihat keadaan di dalam mobil. Jungkook menyambutku dengan netra berbinar, seolah menaruh harapan yang tinggi. Sayangnya gelengan kepalaku menghancurkan semangatnya. Rasa bersalah ikut merunduh diriku tatkala melihat cemas dari wajah pemuda itu.
"Aku akan menemukannya, Jungkook," kataku yang sebenarnya hanya harapan kosong. Aku bahkan telah berusaha keras agar tidak putus asa.
Kami—aku dan si Poker sudah cukup lama dekat. Bahkan mungkin telah menjadi orang paling dekat dengannya sekarang. Namun, di saat seperti ini, aku merasa kecewa pada diriku. Pasalnya aku menyadari bahwa aku belum cukup mengenalnya. Aku hanya tahu dia suka bermaim piano, mahir bermain basket, dan penyendiri. Aku fokus menggalih pengakuannya hingga kehilangan arah saat dirinya tiba-tiba raib seperti ini. Aku kehabisan ide untuk mencarinya ke mana.
Punggungku kutegakan selagi masih menunpuhkan tangan pada badan mobil. Menatap entah berentah mencoba mendapatkan solusi. Aerin dan Jungkook pun tidak banyak bersuara, mungkin segan melihat kondisiku yang sudah berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
POUR Y √
FanfictionMereka memanggilnya sebagai pendosa. Namun, bagiku ia hanyalah orang yang kutemui di sudut studio piano sendirian. Si manusia malang yang mencoba membunuh rasa kesepian yang mencekiknya hingga akhir. Pour Y : Untuk Y Started : August 28, 2020 Finis...