POUR Y: 21

84 17 15
                                    

"Berhenti menatapku begitu!"

Ingin sekali rasanya kulayangkan kepalan tanganku mendarat pada wajah robot itu. Memberinya beberapa pukulan hingga kulit putih pucatnya berubah keunguan akibat memar atau mungkin hal yang lebih buruk lainnya. Jika dia tidak berhenti membuatku gugup dengan menatapku tanpa sepata-kata pun sejak beberapa menit yang lalu.

Bertindak berbekal nekat memang sifat manusia bodoh. Aku menyesal.

"Kenapa kau menciumku tadi?"

Sial. Mengapa harus dia ungkit lagi, sih. Bukankah harusnya dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Kami dua orang asing yang pastinya tidak wajar tiba-tiba berciuman seperti tadi, harusnya dia mengerti suasananya akan mengerikan jika dibahas lagi. Aku bingung, apa ada otak di dalam kepala si Poker itu hingga dia tidak pernah bisa mengerti adab manusia.

Baiklah, aku tahu aku malah menyalahkan si Poker atas tindakanku. Namun, hal ini juga karena tekanan yang dia berikan padaku. Maka aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkan cara yang lebih masuk akal untuk membuktikan bahwa aku bisa ia percayai. Bahwa aku benar-benar menyukainya.

Mungkin?

Melalui ekor mata, aku melirik sinis ke arah pria Min yang masih di posisi semula. Kami masih duduk di depan piano. "Kau ini bagaimana, sih? Bukannya kau memintaku membukti kalau aku menyukaimu? Kau sudah percaya 'kan? Aku tidak sembarang mencium orang tahu!"

"Tidak," jawabnya singkat.

Aku mendelik kaget bukan main. Bahkan sebuah decakan sebal ikut keluar dari bibirku tanpa sadar atas respon yang amat tidak manusiawinya—wajahnya bahkan lebih tidak manusiawi. Bagaimana dia bisa mengatakan hal itu dengan wajah tidak pedulinya? Mungkinkah aku selama ini kurang bergaul hingga tidak tahu bahwa sekarang, saat orang asing tiba-tiba menciumnya, orang-orang bersikap sesantai itu.

"Sedikit agresif," lanjutnya mengejek.

"Yak, Min Suga!"

Tanganku bertumpuh pada tust piano hingga menciptakan suara acak tatkala aku berdiri. Raut muak tergambar di wajah kala kutatap ia. Aku sudah berada di ambang batas kesabaranku. Tuhan mungkin maha pemaaf, tapi tidak denganku. Berlama-lama bersama si Poker di sini benar-benar hanya membuatku darah tinggi.

"Tunggu!" Tungkaiku berhenti sebelum sempat sampai dua langkah. Kepala kutolehkan dan mendapati jemari si Poker menahan pergelangan tanganku. Dia pun telah berdiri. "Datanglah ke lapangan basket malam ini."

"Ada apa?"

Dia tidak langsung menjawab atau mungkin tidak berniat menjawab. Lantaran kini cekalan tangannya terlepas dan dirinyalah yang lebih dulu beranjak, entah hendak melarikan diri ke mana. Jelasnya, aku sadar bahwa aku harus segera pergi untuk merutuki diriku sendiri atas kebodohan yang kulakukan beberapa saat lalu.

--oOo--

Kedua mataku tak lepas menatap wajah-wajah di hadapanku ini. Jantung di dalam dada rasanya sudah berdisko kencang saking tegangnya suasana yang diciptakan oleh dua orang yang memang juga ahli menyudutkan penjahat di ruang introgasi. Namun, aku bukan penjahat—aku hanya detektif bodoh yang mencium terduga pelaku di tengah penyelidikan.

Kesalahan itu jelas saja fatal, akulah yang tidak hati-hati. Jadilah, aku harus menghadapi Namjoon dan Taeri yang seakan mengosongkan pasokan udara di ruanganku ini. Sudah sejak beberapa menit yang lalu, mereka menciptakan suasana aneh dikarenakan tatapan curiga mereka padaku.

"Kau menciu—"

"Iya, aku menciumnya ... sedikit," sahutku pada akhirnya sebelum Taeri bertanya. Kurasa aku memang harus menanggung akibat dari perbuatanku tadi. Termasuk deretan pertanyaan dari dua orang ini. "Tapi, ini cuma untuk memperkuat alibiku. "

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang