POUR Y: 11

139 20 11
                                    

Tanganku bergerak menutupi mulut ketikan kantuk membuatku menguap panjang. Satu tangan lagi menopang daguku agar kepalaku tidak berbaring di meja saking mengantuknya. Sayup-sayup suara denting jarum jam bagai nyanyian tidur yang benar-benar membuat mataku hampir terkatup.

Jam dinding di sudut studio kulirik sejenak di mana terhitung sudah hampir tiga puluh menit pria yang duduk di depanku mengoceh. Bahkan meski tidak benar-benar kucermati, pria berbalut coat hitam itu terlihat sabar untuk menerangkan.

Menatapnya saja sudah membuatku semakin mengantuk sekarang. Aku benar-benar tidak ada niatan untuk berpikir sekarang ini. Semua-tubuh dan batinku seakan mati rasa. Aku sedang di masa di mana aku merasa jika tahu hidupku akan seperti ini, aku lebih baik tidak dilahirkan saja. Maksudku, apa memang ada orang yang ditakdirkan sesial ini? Hidup miskin, tidak menarik, dan kesepian.

Sekali saja, aku ingin merasakan hidup tanpa beban apapun. Iri pada mereka yang hidup normal; berangkat kerja di pagi hari dan pulang untuk beristirahat tanpa beban dan disambut hangat oleh keluarganya sembari ditanyai bagaimana harinya berakhir.

Mengapa aku dipilih untuk mendapatkan hidup seperti ini? Tuhan tolong jawab aku.

"Di lihat dari riwayat hidupnya, bukankah Min Suga tidak punya keterkaitan dengan kedua korban? Bahkan sedikit kemungkinan mereka saling mengenal. Bagaimana menurutmu?"

"Aku tak tahu," jawabku seadanya.

Kim Namjoon, si pria jangkung itu mengangkat pandangannya pada wajahku malasku. Bahkan aku bisa melihat bagaimana ia susah payah mempertahankan kesabarannya dan menelan mentah-mentah kesal atas sikapku. Sama, akupun merasakan hal itu, aku muak dengan semuanya.

"Kau ini ingin nenek dan kakakmu aman atau tidak?" ancamnya terselip emosi.

Selalu saja seperti itu. Semenjak aku menyetujui tawaran Namjoon untuk membantu penyelidikan si Poker, ancaman itu acap kali dilontarkannya untuk menekanku. Memang pria yang sangat licik dan egois. Sebenarnya aku sangat malas bekerja kembali dengan orang ini. Bukan karena aku tak menginginkan pekerjaannya, tapi aku si pendedam ini tidak akan melupakan kelicikan Kim Namjoon si brengsek. Dia menggunakan keadaanku untuk kepentingan lembaganya.

Aku lagi-lagi menghela napas. Terpejam sejenak sebelum akhirnya berucap, "Baiklah, maafkan aku, Ketua Kim. Kau mengatakan bahwa Tuan Kim dan Tuan Oh adalah teman ayahmu, mereka sering pergi bersama. Mungkin saja ayahmu adalah korban selanjutnya?"

Kepala Namjoon mungkin kini telah mengeluarkan asap saking kagetnya-atau mungkin geram. Aku tahu ucapan tak senonohku sangat keterlaluan dan menyinggungnya. Namun, sekali lagi kukatakan aku tidak bisa berpikir untuk saat ini. Jangankan nasib ayah Taeri, hidup kakak dan nenekku juga di ambang hancur.

Untuk pertama kalinya, aku berharap Namjoon ingin memecatku lagi.

Selepas terdiam cukup lama, Ketua Kim mengembuskan napas gusar sembari mengusap frustasi wajahnya. Kacamatanya sudah ia lepas. "Bora, apa aku terlihat sedang bermain-main?" tanyanya ketus.

Sebutlah aku jahat, lantaran kegusarannya membuatku kini terkekeh. Perutku terasa geli melihat Namjoon yang amat frustasi padahal biasanya tampak sangat berwibawah saat memimpin penyelidikan hingga dia bisa menduduki posisi Ketua Penyidik di MPV. Kasihan juga sebenarnya, dia datang sejak pagi-pagi buta untuk memberiku informasi sekaligus merancang rencana kami. Bahkan selagi aku sibuk, dialah yang mengurus keributan yang disebabkan Yunjin.

Seandainya dia pacarku, mungkin aku akan sedikit senang.

"Ya sudah, pulanglah. Studio sebentar lagi buka, aku janji akan bersungguh-sungguh. Namun, kau harus menjamin pengobatan serta kebebasan kakakku," ucapku final sembari membenahi berkas-berkas menyebalkan yang dibawa Namjoon ke studio. Aku harus segera menyembunyikannya dan membuka studio.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang