PUOR Y. 0.5

198 22 27
                                    

Aku mengulum bibirku menahan gejolak jenaka di dalam perut. Seandainya saja kewarasanku telah hilang mungkin kini tawa terbahak-bahakku sudah keluar saking lucunya pemandangan di depan mataku sekarang ini. Anggaplah aku jahat karena malah merasa geli melihat kini seekor kucing kurus tertunduk pasrah saat mendapat semprotan amarah dari macan betina. Sungguh, menyenangkan melihat wajah robotnya itu akhirnya memiliki ekspresi lain.

"Jangan bilang, kau mengikutiku ke sini?" tanya Yunjin keki. Dia menoleh sejenak ke arahku yang spontan buat aku mengalihkan pandangan seolah tak melihat ke arah mereka. Selepas itu ia kembali ke arah target marahnya. "Kubilang padamu sekali lagi, kita sudah selesai."

Dengan gerakan spontan, aku menutup mulutku dengan telapak tangan agar tak mengeluarkan suara meskipun rasanya aku hampir berteriak kaget. Wow, apa ini? Yunjin benar-benar telah mengakhiri hubungannya dengan si Poker? Juga, aku telah jadi saksi kandasnya hubungan kedua sejoli itu. Duh, maaf saja, tetapi aku semakin ingin tertawa kala melirik ke arah mereka dan menemukan wajah pasrah dari si Poker.

Pria berbalut kaos putih polos itu juga bahkan tidak membantah sekalipun. Dasar, tidak ada usaha. Perdebatan itu berakhir dengan Yunjin yang putar tubuhnya berjalan ke arahku dengan mencak-mencak.

Tangan Yunjin terulur ke arahku kemudian berucap dengan kesal."Kunci mobil!"

Wah, melihat wajahnya saja sudah membuatku ngeri. Wanita yang putus cinta memang sangat mengerikan. Maka, tidak mau menjadi sasaran senprot, aku cepat-cepat menyerahkan kunci mobil pada Yunjin yang segera melenggang pergi setelahnya. Menyisahkan aku dan si Poker Face yang menatap mobil yang mulai melaju.

Sial juga sih. Sepeninggalan kakak, tentu suasana menjadi canggung. Di mana si Poker yang tampangnya seperti kucing malang yang ditinggalkan induknya masih berdiri di sana. Apa aku harus menyapanya atau memberinya semangat setelah diputuskan oleh kakakku?

Tidak, itu sangat konyol. Kami bahkan tidak akrab sama sekali. Maka tak ingin ambil pusing, aku memutuskan untuk beranjak dari sana. Mencoba terlihat acuh melewati tubuh si Poker menuju dalam studio. Meski ada sedikit hasrat ingin tahu di dalam hatiku perihal apa yang dirasakan pria itu.

Jam dinding tua di sisi ruangan telah menunjukkan pukul 9:10 yang artinya aku terlambat kurang lebih setengah jam untuk membuka studio. Untung saja bosku yang tampan itu tak mempermasalahkan keterlambatanku. Lagi pula siapa juga yang ingin mengunjungi tempat kuno ini.

Aku menarik kursi yang lumayan empuk di balik meja resepsionis, memperbaiki posisi duduk—mencari kenyamanan lalu melipat tangan di atas meja dan membaringkan kepalaku. Sepertinya bukan ide buruk untuk tidur siang sampai jam kerja habis. Kalaupun nanti ada orang,  mereka cukup menuliskan nama mereka di daftar pengunjung dan meninggalkan uang di atas meja. Sungguh, niat yang sangat malas, aku tahu itu.

"Kalau kau pekerjaku, pasti sudah kupecat."

Sedikit terperanjat kaget, tubuhku segera menegak kala suara itu menegur kesadaranku yang hampir melayang. Tidak beruntungnya lagi, ternyata mulut kasar yang baru saja batalkan mimpi indahku bertemu idolaku adalah pria yang sama yang kutinggalkan di luar studio. Sungguh, pria ini benar-benar sangat menyebalkan akhir-akhir ini. Lihat saja wajah malasnya yang telah kembali.

Dia merogoh saku celana jeans robek-robeknya sejenak. Demi Tuhan, bisa-bisa Yunjin dibuat galau oleh pria berpenampilan pengangguran malas ini.

Semua pergerakannya tidak lepas dari pengawasanku, bahkan kala ia sudah letakan selembar uang kertas di atar meja dan berucap ketus, "Min Suga, catat namaku di buku pengunjung."

Cih, apa-apa sikap arogan itu. Hanya karena dia tidak menyelinap masuk lagi, dia ingin bertingkah sombong? Bahkan kini dia melenggang masuk sebelum kupersilakan.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang