Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berdiri membeku di depan pintu tua bercat abu-abu ini. Tanganku pun masih menggantung tak berani menyentuh kenop pintu apalagi masuk untuk memastikan siapa di balik suara piano itu lantaran tidak mungkin sebuah piano memainkan tustnya sendiri.
Sial. Jika saja aku tidak berharap banyak pada pekerjaan ini, aku pasti sudah pulang meninggalkan studio berpenampilan seram ini.
Aku menghela napas perlahan untuk menenangkan diri. Perlahan-lahan mulai memupuk keberanian dan menyakinkan diriku bahwa hantu-hantu yang ada di drama horor tidak ada di dunia nyata. Orang yang mati tidak ada waktu untuk kembali ke dunia hanya karena iseng semata.
Tanganku bergetar tidak karuan selagi mencoba memutar kenop pintu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Napasku tertahan di tenggorokan. Sumpah, keadaan ini sama mengerikannya saat aku tidak sengaja merobek poster aktor kesayangan Yunjin di kamarnya.
Klek!
Sial! Apa bosku itu pelit atau bagaimana? Bahkan pintu salah satu ruangan di studio tuanya ini sudah rusak, tetapi ia tak menggantinya. Aku hanya menyentuh sedikit, tetapi kenopnya telah terlepas dan pintu terbuka dengan sendirinya. Membuat aku langsung membayangkan salah satu adegan dalam film horror kesukaanku-yakni, pintu terbuka sendiri.
Sedikit ragu, aku menyembulkan setengah kepalaku ke dalam. Mencoba mengintip ruangan luas yang tampak kosong itu. Tidak kosong juga sih, ada sebuah piano berukuran sedang di tengah sana dan-seorang yang tengah terduduk di depannya.
Aku menelan saliva susah payah. "Itu orang, Bora. Tenanglah, itu orang," gumamku menyakinkan diri sendiri.
"Pe-ekhem," aku berdeham sejenak karena mendadak tenggorokanku terasa kering kemudian mengambil satu langkah untuk masuk setelah membuka pintu lebar-lebar. "Permisi ... Anda siapa, ya? Kenapa ada di sini? Kami belum buka."
Kedua mataku terpaku pada punggung berbalut kaos hitam yang sangat mencolok karena kulitnya yang sangat putih itu. Jangan salah paham, aku yakin sosok yang membelakangiku itu manusia hanya saja kulitnya lebih cerah.
Tunggu!
Bukankah ciri-ciri tidak asing? Surai hitam legam dengan kulit pucat serta harum pewangi berbau mint yang mencolok itu terasa sangat familiar.
"Omo!"
Langkahku sontak mundur, sedikit tersentak kala sosok di sana akhirnya berbalik. Dia menatapku dengan tatapan itu-tatapan yang menyebalkan karena tak dapat kuartikan sebagai ungkapan apa. Si poker face-iya itu adalah Min Suga, kekasih kakakku.
"Kau? Min Suga?"
"Aku ini lebih tua darimu, bisa-bisanya memanggil namaku dengan tak sopan."
Demi wajah tampan Kim Seokjin idola kakakku, aku terkejut setengah mati. Bahkan aku berharap ada seseorang yang bisa menamparku untuk memulihkan kesadaranku. Bagaimana tidak terkejut? Itu adalah kali pertama si Min itu bicara padaku semenjak ia muncul sebagai kekasih kakakku.
"Kau bicara padaku? Pada Im Bora?" ucapku memastikan, barang kali aku hanya salah dengar-atau ia tidak bicara padaku.
Ia berdecak, berdiri dari posisi duduknya sembari meraih jaket hitamnya di atas piano. "Namamu Bora?"
Konyol sekali. Aku sampai kehabisan kata-kata karena pria itu. Manusia macam apa dia?Berpacaran dengan kakakku cukup lama, tetapi ia bahkan baru mengetahui namaku sekarang. Aku benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa kakakku jatuh cinta pada Min Suga itu.
Lupakan tentang itu. Hal pentingnya sekarang adalah si Poker itu kini telah berjalan keluar ruangan seenaknya sebelum memberiku penjelasan kenapa ia ada di sini bahkan di saat studio belum dibuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
POUR Y √
FanfictionMereka memanggilnya sebagai pendosa. Namun, bagiku ia hanyalah orang yang kutemui di sudut studio piano sendirian. Si manusia malang yang mencoba membunuh rasa kesepian yang mencekiknya hingga akhir. Pour Y : Untuk Y Started : August 28, 2020 Finis...