POUR Y: 14

93 15 10
                                    

Suara dentuman alas sepatu yang beradu dengan lantai, terdengar mengisi kekosongan malam yang begitu dingin. Angin musim gugur memang bukan main, membuat tak sedikit dari manusia-manusia yang berlalu-lalang di jalanan mengeratkan mantel tebal yang membalut tubuh mereka. Mencoba mendapatkan kehangatan meski sangat minim. Salah satunya adalah aku. Sudah beberapa menit yang lalu aku berdiri di bahu jalan sembari bersenandung mengikis rasa kantuk dan bosan.

Langit malam ini cukup gelap, tak ada cahaya dari benda langit kecil yang biasanya ribuan menghiasi setiap penjuru langit. Mungkin akan turun hujan-aku hanya menebak-nebak. Konon katanya, mendung belum tentu hujan, tetapi hujan sudah pasti mendung.

Lantas aku mengedarkan pandangan melihat-lihat kerlap-kerlip kehidupan kota dan berbagai wajah yang pasti punya cerita masing-masing. Sendiri. Inilah hidup, aku selalu berjalan bersama bayanganku sendirian bahkan di saat aku masih hidup dalam keluarga yang lengkap.

Aku kadang bertanya-tanya, bagaimana hidup ibuku setelah menikah lagi sekarang? Apa dia memiliki anak-anak yang lucu? Sungguh, aku ingin tahu. Ingin sekali melihatnya meski sebentar saja. Dering teleponnya selalu kutunggu, tetapi sayangnya justru orang tak kuinginkan kembali dalam hidupku yang selalu menghubungi.

Terkadang aku juga merasa kasihan pada diriku sendiri. Semasa kecilku yang cukup menyenangkan, Bora kecil tak pernah membayangkan masa depannya yang sesuram ini. Aku adalah masa depan yang buruk untuk diriku di masa kecil.

Maafkan aku Bora kecil, aku menghancurkan hidup bahagiamu.

"Dia belum datang?"

Sedikit terlarut dalam pemandangan jalan yang ramai, aku akhirnya disadarkan oleh suara itu. Earpiece yang tersembunyi di balik suraiku, kutekan untuk mangaktifkan mic-nya selagi netraku bergulir ke area bahu jalan. "Hm, iya, Ketua-oh-itu dia."

Aku memperbaiki penampilan segera, juga merapikan rambutku agar benda kecil terselip di telinga yang menghubungkanku dengan Namjoon, tidak terlihat. Pria yang sedari tadi aku tunggu sekaligus target kami sudah terlihat di ujung jalan. Berjalan dengan amat tenang ke arahku dengan penampilan yang tidak seberantakan biasanya. Kulit pucatnya kini tertutupi hoodie berwarna cokelat gelap dan surainya yang sesekali diusak ke belakang, tidak terlalu menutupi wajahnya.

Dia sampai di hadapanku, lantas kusambut senyum seadanya. Ada sedikit perubahan dari suasana antara kami. Terhitung hampir dua minggu misi ini mengharuskan aku bersama dengannya, membuat canggung meluntur perlahan. Jangan terlalu berharap, wajahnya masih sama-datar dan dingin. Hanya saja, mulut kurang ajarnya sedikit terlatih sekarang.

Setahuku, seorang anti-sosial memang cenderung kasar dan sinis bukan karena mereka menginginkan itu, tetapi mereka hanya tidak tahu cara berinteraksi dengan baik. Mungkin kehadiranku sedikit banyak telah membentuk kepribadian lebih normal pada si Poker. Bahkan malam ini, kami memutuskan untuk makan malam bersama sebagai ganti ruginya terhadap biaya yang kukeluarkan saat dia dirawat di rumah sakit.

"Kau tahu, Suga. Aku cukup pandai bermain gitar. Tapi, kurasa aku juga bisa belajar lagi darimu."

Tungkai kami berjalan beriringan menyusuri trotoar yang penuh dengan dedaunan kering. Di mana terasa jelas perbedaan kepribadian di antara kami. Aku terang-terangan menatap ke arahnya yang memilih memandang lurus ke arah jalanan dengan tangan yang disembunyikan di dalam saku celana bahannya.

"Kau bisa bermain gitar 'kan?" tanyaku lagi.

Untungnya pertanyaan kedua kali itu berhasil menarik atensi si Poker ke arahku. "Kenapa tiba-tiba? Kau bahkan masih sangat berantakan bermain piano."

Tenang saja, kesabaranku sudah berlipat untuk menghadapi pria sepertinya. Mungkin aku bukan ahli pembaca pikiran, tetapi aku memcoba membuat diriku mengerti bahwa dipikiran pria itu, dia tidak berniat menyinggung perasaanku.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang