Eighteen

7.6K 537 83
                                    

Maapin Cece yang up nya ngaret ya:) soalnya kemarin² badan kurang enak huhu☺
------------------------------------
Don't call me Author, call me Cece or Padila!🌻
------------------------------------
Jangan lupa VOTE dan COMMENT ya!

Happy Reading💛

Galexter terus berlari, saat berada di tengah lapangan ia berhenti, menatap ke sekitarnya dengan tatapan mencari. Sial, tidak ada gadis itu disini, lalu kemana gadis itu? Gadis itu benar-benar melaju dengan cepat.

Namun seperdetik setelahnya, pikiran Galexter menyangsang ke suatu tempat paling sakral di sekolah. Apalagi kalau bukan toilet siswa. Tanpa pikir panjang, cowok itu segera berlari untuk pergi ke toilet area kelas 11 Mipa.

Banyak yang menatap cowok itu dengan tatapan aneh, bayangkan saja, seorang Galexter mau berlarian dengan cepat di jam istirahat seperti ini, biasanya kan Galexter bersikap cool dan jalannya pun santai.

Sampai di depan toilet wanita, Galexter celingak-celinguk melihat situasi, takut ada yang melihatnya secara terang-terangan. Setelah dirasa sepi pun, Galexter segera masuk ke dalam area toilet siswi perempuan. Dan pada saat di dalam, kening Galexter mengerut, hanya ada satu bilik yang terkunci. Galexter segera mendekati pintu bilik itu.

"Argh......."

Suara apa itu? Rintihan? Galexter mendengarnya, cowok itu mendengar dengan jelas suara rintihan itu. Suara cewek? Apakah mungkin itu Lexa? Tanpa aba-aba Galexter segera memutar knop pintu bilik itu, tapi ternyata terkunci dari dalam.

Shit!

"Sa?! Lo di dalem?! Lexa?! Lo pasti denger suara gue kan?!" kata Galexter. Tangan cowok itu masih berusaha membuka knop pintu, tapi hasilnya nihil.

Sedangkan Lexa, gadis itu masih menangis tanpa suara di dalam bilik. Ia kaget, Galexter?

"Galexter?" lirih Lexa.

Ia bingung harus bagaimana, mengapa Galexter datang kesini? Mengapa harus cowok itu? Apakah tidak ada orang lain? Lexa tidak mau jika Galexter sampai mengetahui penyakitnya ini, penyakit yang amat sangat ia benci, self injury.

Seperdetik kemudian, Lexa segera bangkit berdiri lalu mengusap bekas air matanya yang ada di wajahnya menggunakan tangan kanan. Dan tanpa pikir panjang, Lexa segera membungkus benda kecil namun tajam itu ke saku seragamnya.

"Heh cewek bodoh! Keluar lo!" titah Galexter.

Lexa cukup kaget dengan kata yang diucapkan Galexter, tapi gadis itu malah tersenyum. Setelah itu, Lexa segera menggulung lengan kiri sweaternya, membersihkan luka dan darah yang masih membekas ditangannya menggunakan air mengalir. Perih? Jelas, tapi ini perbuatan murni karena diri sendiri jadi Lexa juga harus siap menahan perih laranya.

"Keluar Sa!" titah Galexter dari luar.

Lexa tersenyum, ia suka ketika Galexter menyuruhnya keluar, tapi ia juga takut. Ia takut jikalau Galexter melihat dirinya seperti ini.

Lexa kembali membenarkan lengan sweaternya. Gadis itu menghela napasnya, "Aku nggak papa Gal, kamu pergi aja." Lexa meremas roknya, ia gugup, sialan. Untung saja ia tidak berdandan menor. Natural adalah pilihannya.

"Keluar atau gue yang masuk?" tanya Galexter membuat Lexa cengo. "Maksud gue, keluar atau gue bikin nih pintu nubruk tubuh lo," ancam Galexter membuat Lexa menghembuskan napasnya gusar.

"Aku enggak mau Gal, kamu pergi duluan aja, entar aku pasti keluar," ujar Lexa berusaha meyakinkan Galexter.

Tapi bukan Galexter kalau cowok itu tak keras kepala, "Sejak kapan lo bisa merintah gue?"

GALEXTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang