Chapter 1- Ardelra

1.1K 124 39
                                    

Chapter 1
Ardelra

Agak mengangetkan. Tim tujuh baru saja terbentuk dan Ragil bisa tiba-tiba saja mengatakan kalau mereka akan mencari Lexio Fortana? Apakah itu mungkin?

Itu level S, level dengan kesulitan paling tertinggi. Dalam menjalankan sebuah misi. Biasanya sebuah tim akan diberikan misi yang mana disesuaikan dengan kemampuan anggotanya.

Tingkat level tertinggi di mulai dari.

S
A
B
C
D

Mencari Lexio Fortana berada pada level S dan itu sangat tidak mungkin di lakukan oleh tim yang baru terbentuk seeumur jagung.

"Lo gila!!" protes Dexa, "bagaimana bisa kami mendapatkan misi seperti itu?"

"Itu hanya acuan untuk kita di masa depan. Orang gila mana yang akan meminta kalian melakukan hal seperti itu?"

Dengan kompak Lu, Arsenal dan Dexa menunjuk ke arah Ragil.

"Kalian bertiga gila!" desis Ragil, "gue tidak sebodoh itu."

"Lo duluan yang bertanya siapa yang gila," cibir Dexa. Ragil hanya memutar bola mata dengan malas.

Dalam kelas Sage. Mereka yang naik kelas di tingkat dua. Akan di bentuk menjadi beberapa tim. Tim yang terbentuk akan memudahkan mereka menjalani misi demi peningkatan kemampuan sihir.

Biasanya tim yang terbentuk dan menjalani misi dengan sempurna. Akan mendapatkan bayaran dari pihak sekolah. Terkhusus komite yang mendapatkan permintaan dari para klien.

"Lalu apa maksud Kak Ragil ngomong gitu sama kami? Mencari Lexio Fortana?" tanya Lu penasaran.

"Profesor Albus secara pribadi meminta itu. Mengingat lo adalah Akaishi milik Naell. Jelas orang yang akan terlibat dengan Lexio Fortana adalah lo."

Lu terkesiap. Dia hanya terdiam.

"Tapi itu bukan hal utama yang akan di lakukan oleh Tim Tujuh. Mulai besok, saat sabtu dan minggu. Gue ingin kalian bertiga berkumpul di danau biru. Gue akan melihat sejauh mana kemampuan lo bertiga."

Dexa menyahut dengang sebuah gumaman. Beda dengan Lu yang mengganguk kecil.

"Lalu," sela Arsenal, "Apa nama tim kita?"

"Gue sudah memikirkan itu," jawab Ragil dengan penuh percaya diri. Seakan berharap seseorang menanyakan hal itu sedari tadi.

"Ardelra. Bagaimana?"

Orang pertama yang merespon dengan kening berkerut adalah Dexa. Terlihat merasa aneh dengan nama yang di pilih oleh ketua Kapel tersebut.

"Ardelra? Apa itu? Kenapa gak BTS?"

"BTS?"

"Boys tampan dan seksi. Hahaha." tawa Dexa meledak. Dia tertawa terpingkal-pingkal.

Ragil menatap Lu dan Arsenal secara bergantian. Mereka bertiga tidak tertawa dengan lelucon yang dibuat Dexa. Malahan justru saling menatap dengan bingung. Menyadari hal itu, Dexa langsung menghentikan tawanya.

"Gue hanya bercanda. Ya elah. Muka lo kenapa pada tegang gitu sih?"

Ragil hanya memutar bola mata dengan malas. Di ikuti oleh Lu dan Arsenal. Mereka bertiga, benar-benar geleng kepala dengan sikap aneh putra Kaisar Gras itu.

"Ck, jangan bercanda," tukas Ragil, "Ardelra itu singkatan nama kita berempat. Ar itu dari Arsenal, De itu dari nama lo, L itu dari Lucy dan Ra, tentu saja dari nama gue. Gimana keren kan?"

Lu tersenyum kecil. Dia tak menyangka bahwa Ragil bisa memikirkan hal yang seperti itu.

"Gue setuju Kak. Gue suka nama itu. Keren," puji Lu dengan jari jempol.

Ragil tersenyum simpul. "Gimana lo berdua? Setuju atau? Lo berdua punya rekomendasi nama lain?"

"Gue setuju," sahut Arsenal kalem dan kini ketiga orang itu menatap Dexa.

"Gue juga setuju. Gue juga gak ada rekomendasi nama yang lain. Mau Ardelra kek, kandela kek. Terserah dah."

"Baiklah. Gue rasa pertemuan kita hari ini cukup sampai disini. Selamat naik kelas dan selamat datang. Sekarang lo bertiga bubar."

Ragil melangkah menuju meja kerjanya. Lu dan dua anggota timnya pun berjalan keluar ruangan Kapel.

"Gue gak nyangka," seru Lu at mereka bertiga berjalan di koridor kastil.

"Gue gantengnya kelewatan ya?" tanya Dexa dengan tersenyum lebar.

"Dih, pede banget lo. Gak ada yang ngomong itu." Lu memutar bola mata dengan malas. "Gue gak nyangka aja. Kita bertiga bisa satu tim. Kebetulan yang hebat kan?"

"Bukan sebuah kebetulan," sahut Arsenal dari sisi kiri Lu. "Mereka memang sengaja menyatukan kita."

Lu menatap Arsenal dengan wajah penuh tanya. "Kenapa?"

"Lo pikir aja sendiri," sahut Arsenal cuek.

Mendengar hal itu, Lu langsung mengerucutkan bibir dengan pipi menggembung.

"Jii, dasar pelit."

Arsenal hanya tersenyum tipis. Entah mengapa wajah Lu saat marah terlihat menggemaskan di pelupuk matanya. Rasanya ia ingin menjahili Lu lagi. Melihat bagaimana kedua pipi yang memerah itu kembali menggembung.

Tapi senyum Arsenal memudar. Saat langkah mereka terhenti di persimpangan koridor. Naell tengah berdiri menatap mereka bertiga dengan sorot mata penuh selidik.

"Kalian sekelompok?" cecarnya langsung.

"Seperti yang lo lihat," sahut Dexa dengan malas. "Dari mana aja lo?"

"Jalan-jalan lah," jawab Naell acuh. "Lu, makan siang bareng yuk."

"Gue ikut!" sahut Dexa dengan cepat.

"Gak ada yang ajak lo," protes Naell

"Ck," desis Dexa, "makan bareng-bareng lebih asyik."

"Gue maunya sama Lucy. Bukan sama lo."

"Emangnya Lu mau sama lo?"

"Dia Akaishi gue. Tugas gue adalah menjaga dia dengan nyawa gue sendiri," jelas Naell. "Kenapa lo yang sewot?"

"Gak ada yang sewot. Gue cuma menawarkan diri. Kita kan sekarang setim. Kenapa harus makan pisah-pisah?"

"Karena gue maunya sama Lucy. Ada hal yang pengen gue bicarakan berdua dengannya."

"Kenapa gak bareng kami semua?"

"Ini bersifat pribadi. Khusus hanya Akaishi dan Servamp. Lo berdua gak perlu tahu."

"Alasan aja lo," cibir Dexa tidak percaya. "Bilang aja lo mau berduaan dengan Lu?"

"Kalau iya kenapa? Lo gak suka? Lo cemburu?"

Dexa bungkam. Tidak menyangka bahwa Naell akan melontarkan pertanyaan seperti itu.

Cowok Clasimira itu menatap Lu. Yang mana di balas dengan sebuah tatapan penuh tanda tanya. Lalu netranya beralih menatap Arsenal dan terakhir Naell.

Tatapan enam pasang mata itu. Seolah sangat menanti apa yang akan di ucapkan oleh Dexa. Karena apa yang akan di ucapkan Dexa. Akan sangat berpengaruh dengan apa yang terjadi di detik berikutnya.

Naell tersenyum tipis. Melihat gelagat Dexa yang seolah merasa penuh keragu-raguan.

"Lo suka Lu?"

Pupil mata Lu melebar. Dia terbelalak dengan pertanyaan Naell. Lalu dia berbalik menatap Dexa.

Kedua netra mereka beradu pandang. Tatapan Lu seolah berkata. Jangan mengatakan apapun.

Dan tatapan Dexa seolah berkata. Itu benar. Apa kau keberatan?

__/_//______/_____

Bersambung

ARDELRA (Season 2 Penyihir Diwangka) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang