Part 27 (Rahasia Cakka)

2.5K 110 11
                                    

Cakka Pov

"Kata dokter Pak Cakka mengidap penyakit kanker otak"

Kalimat yang membuat gue terkejut saat mendengarnya dari sekretaris gue. Kenyataan itu gue terima di hari gue akan kembali ke Indonesia, setelah beberapa hari gue meeting dengan klien gue di Paris.

Sebelum jadwal keberangkatan gue ke Indonesia, gue dan sekretaris gue sempat meeting dahulu dengan klien gue. Meeting berjalan dengan lancar dari awal sampai akhir. Gue merasa semuanya baik-baik saja. Bahkan setelah meeting gue masih menghubungi Ify, memberi kabar jika sebentar lagi gue akan berangkat ke bandara. Namun ketika gue sudah selesai berbicara dengan Ify, tiba-tiba saja gue merasakan sakit yang sangat luar biasa di kepala gue. Saat itu juga gue langsung tidak sadarkan diri, karena tidak kuat menahan rasa sakitnya.

"Pak Cakka! "

Setelah gue sadar, ternyata gue sudah berada di sebuah rumah sakit. Disana juga sudah ada sekretaris gue yang setia menunggu gue.

"Akhirnya Pak Cakka sadar juga. "
"Akhirnya? Memangnya berapa lama saya tidak sadar, Renata? "
"Pak Cakka tidak sadarkan diri dari kemarin siang sampai hari ini. Hari ini sudah menunjukan pukul 8 pagi Pak. Cukup lama bapak tidak sadar. "
"Apa? Memangnya saya sakit apa Renata? Mengapa saya tidak sadarkan diri sampai berjam-jam? "
"Pak Cakka sakit...
"Kenapa kamu berhenti bicara? Tolong kasih tau saya, Renata. "
"Kata dokter Pak Cakka mengidap penyakit kanker otak. "
"Apa?Kanker otak? "
"Iya Pak. Apa sebelumnya Pak Cakka tidak merasakan gejala-gejala nya? Seperti sering merasakan sakit di kepala atau muntah-muntah. "
"Akhir-akhir ini memang saya sering merasa itu semua. Namun saya pikir itu hanya sakit biasa akibat saya kelelahan bekerja. "
"Tidak Pak, itu adalah beberapa gejala dari penyakit kanker otak. Pak Cakka yang sabar ya. Bapak pasti bisa sembuh. Apalagi kata dokter kanker yang ada di tubuh bapak itu baru tahap awal, masih bisa diusahakan untuk sembuh. "
"Tidak Renata. Kanker itu penyakit yang mematikan. Cepat atau lambat saya akan pergi dari dunia ini. "
"Bapak tidak boleh bicara seperti itu. Kematian itu ada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak menghendaki bapak meninggal, ya suatu saat bapak pasti sembuh. "
"Renata, apa saya boleh minta tolong kamu sesuatu? "
"Apa itu pak? "
"Tolong jangan beri tahu kepada siapa pun tentang penyakit saya, terutama Ify. "
"Tapi kan ibu Ify berhak tau pak. Bapak tidak bisa menyembunyikan ini sendiri. "
"Saya tidak mau Ify sedih dan khawatir sama saya. "
"Baiklah kalau itu mau bapak. Saya tidak akan memberi tahu ini kepada siapa pun."
"Terima kasih Renata. "
"Sama-sama Pak Cakka. Kalau begitu saya panggilkan dokter dulu ya, Pak. "
"Ya."

Sepeninggalan Renata, gue melirik ponsel gue yang ada di atas nakas samping tempat tidur. Gue meraihnya dan mencoba mengecek isi ponsel gue. Tiba-tiba gue teringat Ify. Pasti sekarang  dia sedang menunggu gue pulang. Ketika gue menyalakan layar ponsel gue, di situ gue melihat banyak sekali notif pesan dan panggilan dari dia. Memang seharusnya gue sudah tiba di Indonesia pukul 6 pagi, tapi sekarang gue malah masih ada di Paris. Gue membuka beberapa pesan dari Ify.

"Cak, kamu dimana? Kok belum sampai? Aku dan Al sudah siap dan sedang menunggu kamu."

"Cak, kamu jadi pulang kan? "

"Cak, apa kamu masih dalam perjalanan?"

Itu beberapa isi pesan dari Ify. Jujur gue merasa bersalah sudah membuat Ify dan Al menunggu gue lama. Gue bingung harus bagaiamana sekarang? Gue mau saja menghubungi balik Ify atau membalas pesan Ify. Tapi gue gak tau harus bilang apa nantinya. Gue gak mau bilang kalau gue gak jadi pulang karena gue sakit. Gue gak mau dia tau penyakit gue. Biar ini jadi rahasia antara Tuhan, gue, dan Renata saja yang tau.

He is My SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang