39- Fakta Perih

45 6 2
                                    

Siang ini jam dinding klinik tepat menunjukkan pukul 13.40, aku sudah akan meninggalkan klinik ini. Aku sudah bicara dengan Kaevan tentang rencana untuk ke pantai terlebih dahulu dan dia setuju, makanya aku berangkat siang bolong gini agar nanti tidak terlalu malam saat pulang ke Jogja.

"Veesha pamit ya Kung, cepet sembuh," ucapku sambil menyalami tangan Kakekku.

"Iya Nok," Kakek menjawab lirih sambil tersenyum ke arahku.

Setelah itu aku juga berpamitan dengan yang lainnya, begitu pula Kaevan, ia mengikuti ku di belakang dan berpamitan.

"Kita ke pantai yang lagi hits itu ya," ajaknya saat kami berjalan menuju parkiran.

"Pantai hits yang mana?" aku bingung.

"Itu lho yang ada kayak tamannya dan kursi-kursi gitu, terus ada rumput manila nya, aku lupa namanya, tapi katanya itu di Gunungkidul.

Aku berpikir sejenak sambil mengingat-ingat, "Oh itu, Pantai Ngrawe ya?" tanyaku.

"Nah iya itu, kamu tahu jalannya kan?"

Aku tersenyum ke arahnya "Enggak hehe."

"Yah gimana sih, simbahnya orang sini masa nggak tahu," kata kaevan sambil memasang wajah kesal.

"Bercanda kali, tahu lah aku. Aku belum pernah kesana tapi aku pernah diberi tahu Ganis arah jalannya."

"Yaudah ke sana aja ya aku belum pernah juga soalnya,"

"Okey," jawabku sambil menunjukkan jari jempol ke arahnya.

Matahari siang ini lumayan terik, langit tampak biru dihiasi dengan awan cirrus yang samar-samar. Kami menembus panasnya udara di dekat pantai yang sebenarnya bisa membakar kulit kami.

"Ini arahnya ke mana?" tanya Kaevan setelah kami membayar pos retribusi.

"Ambil kiri itu yang jalannya naik,"

Kaevan langsung menuruti instruksi ku.

"Nah depan itu nanti kanan," kataku.

"Mana ada jalan ke kanan?"

"Ada lah, Van. Buruan nyebrang!" perintahku.

"Iya iya itu ada mobil mau ketabrak?"

"Enggak sih hehe"

Kami lalu menyebrang ke arah kanan setelah mobil Toyota Avanza melawati kami. Jalanan masih aspal seperti tadi, namun kali ini lebih sempit. Ternyata jalanan di depan belum semuanya diaspal, masih ada jalanan batu.

"Pegangan!" perintah Kaevan saat kita mulai masuk jalanan berbatu.

"Iya udah," jawabku sambil memegang erat jok belakang motornya.

Tiba-tiba dia menghentikan laju motornya di tepi sebelah kiri.

"Kenapa berhenti? Nggak berani menanjak?" tanyaku, karena di depan ada tanjakan lumayan tinggi dan jalanan masih berbatu pula.

"Lihat tanganmu"

Aku menurutinya, aku memajukan tangan kananku ke dekat badannya.

"Satunya?"

Aku melakukannya lagi, walau sebenarnya aku sendiri masih bingung apa yang akan dilakukan orang ini. Dia kemudian memegang kedua tanganku dan melingkarkan ke pinggangnya.

"Pegangan yang erat, itu jalannya menanjak kayak gitu apalagi masih berbatu. Aku nggak mau kalau kita terpeleset terus kamu jatuh. Ya masa kesini mau jenguk orang sakit malah gantian sakit kan nggak lucu," katanya.

Ilusi Cinta [Selesai] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang