Kami memutuskan untuk makan bakso di salah satu warung makan yang ada di Pantai Ngrawe. Hari mulai sore, matahari sudah condong ke barat, aku memutuskan untuk pulang setelah menghabiskan semangkok bakso dan segelas es jeruk.
"Pegangan!" perintahnya saat aku sudah mulai membonceng di motornya.
"Udah pegangan di belakang."
"Pegangan di pinggangku aja, Sha. Nggak papa kok,"
"Nggak usah lah, nanti pacar mu marah," tolak ku.
"Mana ada kan nggak tahu."
"Jangan gitu dong kamu harus jaga perasaan dia."
"Ya sudah pegangan yang kencang."
"Iya iya."
Sebenarnya aku tak masalah jika berpegangan di pinggang mu, memelukmu dari belakang seperti tadi siang, jujur aku nyaman. Namun, kini aku tak bisa melakukannya karena aku takut tak bisa mengendalikan perasaanku sendiri, padahal sudah jelas bahwa kamu sudah memiliki wanita lain di hati.
Benar kata Renald, kamu orang baik, bahkan sangat baik. Kamu rela mengantarku ke sini bahkan dengan jarak yang tidak bisa dibilang dekat. Kamu baik dan aku salah mengartikan kebaikanmu menjadi rasa cinta. Padahal sebenarnya kau hanya peduli saja dan mungkin berbuat baik terhadap semua.
Matahari sudah terbenam, menyisakan sinar jingga yang mengiringi perjalanan pulang ku. Sinar jingga perlahan pudar, menyisakan gelap langit yang ditaburi kerlipan bintang, juga bulan sabit yang tak begitu terang. Cuaca mulai dingin, kami terus menembusnya.
"Beli jagung bakar dulu ya," ajaknya sambil menepikan motornya. " Disitu ada jagung bakar enak, kali ini aku yang beliin kamu."
Aku mengangguk dan mengikutinya di belakang.
"Pak jagung bakar 2, yang satu pedes manis. Kamu rasa apa?"
"Sama aja."
"Oke, pedas manis dua ya?" kata penjual itu memastikan.
"Iya." Jawab Kaevan.
Kini kami berada di Bukit Bintang, Patuk, duduk berdua menikmati jagung bakar dibalut dengan cuaca dingin dan dilengkapi pemandangan kota Jogja dari atas pegunungan. Lampu lampu terlihat seperti bintang yang berkelipan.
"Aku nggak akan pernah lupa, kita pernah duduk berdua disini," ucap Kaevan.
Aku hanya menanggapi dengan tersenyum canggung. Bagaimana dia bisa berkata seperti itu setelah apa yang terjadi tadi siang. Suasana mendadak hening dan canggung diantara kami, hanya ada suara hembusan angin, sepeda motor dan mobil yang melintas, serta sesekali suara klakson yang dibunyikan pengendaranya.
"Pulang yuk," ajak ku ketika aku telah menghabiskan jagung bakar ku.
Kaevan hanya diam, melamun, dan masih menatap lurus kedepan, melihat lampu kota itu.
"Hey.. jangan ngelamun, entar kesambet," kataku sambil mengibaskan tanganku di depan mukanya.
"Eh.. iya kenapa?"
"Ayo pulang udah malam,"
"Yaudah ayo."
Kami lalu melanjutkan perjalanan, kembali melintasi jalan Jogja-Wonosari yang sangat ramai. Setelah sekitar empat puluh menit motornya berhenti di depan pagar rumahku.
"Makasih ya, Van, maaf nggak nyuruh mampir dulu udah malam rumah juga nggak ada orang," kataku.
"Iya Sha. Aku mau langsung pulang aja."
"Hati-hati, Van."
"Iya Sha."
Aku terus memperhatikannya hingga punggungnya benar-benar tak terlihat, setelah itu aku lalu masuk rumah dan mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi Cinta [Selesai] ✓
Teen Fiction[REVISI] Ini bukan kisah cinta 2 remaja yang berada si satu sekolah yang sama. Bukan pula kisah cinta yang selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Ini kisah cinta yang sedikit berbeda, namun ternyata ada pula yang mengalami nya. Semua yang ku p...