62 - Past and Today

252 14 4
                                    

Jika manusia boleh memilih, maka dia akan kembali kepada masa lampau untuk memperbaiki kesalahan. Namun, manusia apa daya. Tuhan selalu tahu yang terbaik untuknya.

✨✨✨✨✨

"Jujur, gue ..." Angga masih ragu untuk menceritakannya. Sebenarnya Nisa sudah tak mellow lagi mendengarkan cerita ini jika berkaitan dengan Bang Enggar. Ia malah merasa kasihan dengan Bimo dan Angga waktu itu. Apalagi Bang Enggar yang menyaksikannya secara langsung ya?

"Dari gelagat lo gue curiga, waktu Bimo butuhin seorang kakak di sampingnya, lo malah pergi entah ke mana," tebakan Nisa sungguh tepat sasaran, lagi-lagi Capuccino hangat di depannya tak mampu membuat hatinya menghangat.

Tiga pasang telinga di meja kecil ini penasaran dengan jawaban Angga. Namun seperti biasa, Nisa sudah tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulut seorang Angga. Wajah datar yang ia nampakkan sudah membuat Angga mati kutu sendiri. Diam berarti iya.

"Jadi, lo beneran ninggalin Bimo?" tanya Shellina tak percaya.

Bagas yang melihat ekspresi mengiyakan dari Angga pun mulai menerka mengapa lelaki di depannya ini malah meninggalkan Bimo pada saat-saat seperti itu. Tidak mungkin seorang laki-laki melakukan sesuatu tanpa sebab-musabab, sekecil apapun lelaki itu. Memang, di sini yang bisa mengerti seorang Adam haruslah berasal dari kalangan Adam, kecuali ...

"Gue tahu lo pasti punya alesan waktu itu, entah karena lo nggak siap bilang ke Bimo, atau karena lo malu nggak bisa jadi abang yang bener waktu itu," Nisa berkata santai sambil mengambil kentang goreng barbeque-nya yang hampir dingin.

"Goblok banget kalau gue inget, haha," Angga menertawakan dirinya sendiri.

"Bimo hampir mati dua tahun setelah tragedi itu. Traumanya bukan trauma biasa, gue nggak bisa apa-apa," Angga mengusap wajahnya kasar. Sungguh ia sangat menyesali peristiwa itu. 

Angga juga menceritakan bagaimana Enggar meyakinkan warga untuk menitipkan Angga dan Bimo di panti asuhan. Hingga dokter psikis yang berdatangan dari waktu ke waktu dengan muka yang berbeda. Awalnya Angga pikir memang panti asuhan ini istimewa. Tetapi kata istimewa itu tak lain tak bukan berasal dari usaha yang Enggar lakukan untuk mereka berdua.

"Gue nggak demen sama harta yang lo punya atau Bang Enggar punya, cuma gue mau makasih banyak berkat abang lo, baik gue maupun Bimo bisa sekolah sampai tinggi gini," tulus Angga pada akhirnya.

"Bahkan kata ibuk Elen pengasuh panti, tabungan Bang Enggar yang dititipkan buat kita berdua cukup sampai Bimo lulus S1. Gue nggak bisa berkata apa-apa lagi," akhirnya seorang Angga menitikkan air mata haru mengingat bahwa sosok terbaik dalam hidupnya setelah bapak, yaitu Bang Enggar, sudah tak bisa ia temui lagi.

"Bang Enggar pasti lebih seneng kalau lo bisa jadi lebih dari yang dia ekspetasikan," ujar Nisa membuat Angga kembali menatap gadis di seberang mejanya ini. Gadis ini benar-benar mirip dengan sosok penyelamat hidupnya. Tatapannya, bahkan kalimat yang ia lontarkan memiliki kekuatan yang sama seperti beberapa tahun silam.

"Ehem!" deheman yang sengaja disuarakan oleh Bagas pun menghentikan aksi drama di depannya. Cemburu adalah sifat manusiawi, tapi Bagas merasa ia tak berperikemanusiaan saat mencemburui orang seperti Angga.

"Kalau cemburu mah bilang aja! Nggak usah jaim," Shellina akhirnya nyeplos sesuai isi hatinya saat geli melihat aura wajah Bagas yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Dering telepon Nisa berbunyi, Bu Indri. 

Tak berselang lama kemudian, Nisa melirik misterius ke arah tiga pasang mata di depannya. 

Scout in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang