60 - Real Obscurity

482 26 6
                                    

"Terkadang, di dalam sebuah kehidupan ada yang dinamakan ketidakjelasan. Bukan sebab hal yang tak jelas kasat mata, tetapi makna yang sudah diterka ternyata jauh berbeda dari fakta"


🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻


"Baiklah, tapi..."

Devi merasa geli sendiri melihat raut wajah Enggar yang sudah habis akal menebak apa yang gadis ini lakukan. Namun, dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan langka bagi Bimo dan Angga untuk saling berkomunikasi lebih dekat dari biasanya.

Kedua bocah dengan raut wajah malu-malu bagi Bimo, tetapi raut wajah kesal bagi Angga ini mulai mengikuti arahan yang diberikan oleh Enggar. Sempat terbesit satu keinginan di hati Angga agar kelak bisa segagah dan sekeren sosok yang sekarang berada tepat di depannya ini.

"Apa kalian sudah paham?" tanya Enggar dengan nada penuh semangat.

"Siap, paham!" jawab anak-anak serempak. Tetapi Angga masih kaku, dia sendiri tidak pernah sedekat ini dengan Bimo.

Entah ini berkah atau musibah, Angga dan Bimo diharuskan mengikuti beberapa perlombaan yang mengharuskan mereka berdua terus menempel seperti lem dan harus bekerja sama. Bayangan menjengkelkan dan menggelikan dari raut wajah keduanya membuat Enggar dan Devi terkikik dari kejauhan.

"Kemarin saya bilang sama Bimo, kalau Angga bersikap dingin begitu hanya karena kurangnya pengakuan kasih sayang dari keduanya," Devi tiba-tiba berkata sehingga membuat Enggar di sampingnya menoleh.

"Lantas mengapa tiba-tiba ada sebutan 'Mas' dari mulut kecil Bimo?" tanya Enggar penuh dengan rasa penasarannya.

"Saya bilang, kasih sayang itu bisa ditunjukkan melalui panggilan. Jadi deh, sekarang dia benar-benar bertekad menunjukkan kasih sayang kepada Angga," penjelasan Devi kali ini berhasil membuat Enggar mengangguk. Lelaki dengan balutan kaus pramuka lapangan ini pun tersenyum tatkala melibatkan Devi untuk misi keduanya di desa ini.

Angga dan Bimo sangat kewalahan ketika mereka dihadapkan dengan perlombaan lari. Tentu saja bukan perlombaan lari biasa. Mereka berpasangan, setiap orang mengikatkan sebuah kain pada kaki kanan orang pertama dan kaki kiri orang kedua. Dengan kerja sama, mereka harus bisa melangkahkan kaki dengan tepat dan cepat sehingga bisa mencapai garis finish.

"Kamu yang maju kaki kiri dulu!" perintah Angga yang langsung diangguki oleh Bimo.

"Bersedia..."

"Siap..."

Priitttttt!!!

Suara peluit berbunyi, menandakan bahwasannya lomba sudah dimulai. Meskipun Bimo dan Angga sempat kewalahan, di tengah pelarian mereka akhirnya mereka bisa menyejajarkan langkah mereka sehingga dapat mencapai finish lebih cepat dari pada yang lain.

Suara peluit berbunyi, tanda sudah ada pemenang pertama, kedua, dan ketiga. Tentu saja tidak langsung menang, karena setelah ini akan ada babak semifinal hingga babak final.

Pemenang pertama kali ini, Angga dan Bimo yang berhasil meraihnya. Sensor refleks mereka bekerja, terutama Angga, ia memeluk erat Bimo dengan binar mata bahagia. Bimo turut bersorak gembira, tak disangka ia bisa sesenang ini. Mungkin ditambah perlakuan Angga yang tak sekejam biasanya.

°°°

"Tunggu, tunggu! Jadi, lo berubah itu karena Devi 'kan? Bukan Abang gue?" suara Nisa menginterupsi cerita Angga. Bagas dan Shellina otomatis menatap ke arah gadis yang masih setengah terima dengan kalimat demi kalimat yang Angga keluarkan.

Scout in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang