"Kau tidur di sofa." Jihoon menunjuk sofa yang terletak di dekat kasur hotel itu. Yena menatapnya tidak percaya. Hei, tega sekali menyuruh Yena yang benar-benar lelah karena acara pernikahan sialan itu untuk tidur di sofa. Lagipula, dia kan sedang hamil. Apa Jihoon benar-benar tidak punya perasaan?
"Apa kau gila? Aku sedang hamil! Ditambah, aku benar-benar kelelahan sekarang. Aku tidak akan tidur di sofa!"
"Lalu kau mau tidur di lobi? Silahkan saja, aku tidak terlalu memperdulikannya. Tapi jika kau mendudukan dirimu di kasur ini, aku akan menendangmu keluar dari kamar ini." Jihoon berucap tanpa memperdulikan Yena yang sekarang benar-benar kesal.
"Kau itu lelaki! Setidaknya, biarkan aku tidur di kasur bersamamu! Atau kalau kau memang tidak mau tidur bersamaku, tidur saja di sofa! Aku ini sedang hamil!" Yena berteriak kepada Jihoon yang sekarang sedang fokus memainkan handphone-nya tanpa memperdulikan Yena.
"Tidak mau. Ini kasurku. Sudahlah, lebih baik kau keluar sekarang daripada meneriakiku seperti ini."
Baiklah, Yena akan keluar sekarang. Dia harus menenangkan pikirannya sebelum kembali ke kamar hotel sialan ini.
Yena bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah berganti pakaian, dia mengambil mantel coklatnya dan keluar dari kamar itu. Yena tidak perduli meskipun dia sedang lelah sekarang.
"Seandainya aku tidak pergi ke club sialan itu." Yena bergumam pelan sembari menyusuri sungai Han yang terlihat sangat tenang. Dia sangat menyesali keputusannya saat itu.
Flashback on
"Ayolah, kumohon temani aku malam ini saja." Yohan menggoyangkan tangan sahabatnya, Yena. Yena hanya mendengus kesal. Daritadi, sahabat lelakinya ini tidak berhenti merengek di samping Yena agar Yena menemaninya ke pesta yang dibuat oleh teman sahabatnya itu.
"Astaga, ocehan tidak berguna itu membuat kepalaku mau pecah saja."
"Kumohon, kali ini saja. Aku tidak akan mengajakmu lain kali." Yohan terus menggoyangkan tangan Yena dan membuat Yena sebal. Akhirnya, Yena terpaksa mengiyakan ajakan sahabatnya itu untuk pergi ke pesta perayaan temannya di club. Ingat, di club. Astaga, Yena tidak bisa membayangkannya karena itu pasti lebih menakutkan daripada rumah hantu.
...
Benar saja dugaan Yena, tempat ini jauh lebih menakutkan daripada rumah hantu. Ada banyak sekali orang mabuk disana yang bahkan tidak Yena kenali. Sialnya, dia tidak sengaja terpisah dengan Yohan dan handphone-nya mati. Yena bersumpah tidak akan menginjakan kakinya di tempat seperti ini lagi.
"Hei, gadis manis, apa kau mau menemaniku?" tanya seorang lelaki yang sepertinya sedang mabuk berat. Yena kaget dan merinding saat itu juga. Saat Yena ingin pergi dari tempat itu, lelaki mabuk tadi memegang tangannya dan menariknya ke salah satu kamar yang disediakan di club itu. Dan malam itu, semua terjadi. Yena tidak dapat memberontak ataupun menangis sangking takutnya.
Paginya, mereka berdua menemukan diri mereka tertidur di bawah satu selimut tanpa mengenakan busana apapun.
Flashback off
"Huaa, kenapa Yohan tega sekali mengajakku ke tempat menyeramkan seperti itu?!" Yena berteriak frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Hidupnya benar-benar hancur dalam satu malam.
"Aku masih ingin mengejar mimpiku untuk menjadi desainer." Yena merogoh mantelnya dan mengambil buku kecil yang selalu dibawanya kemana pun dia pergi. Buku itu berisi semua gambar gaun yang dia gambar sendiri. Yena memandanginya dengan mata yang sedikit memerah.
"Apa aku tidak akan pernah merasakan kebahagiaan? Setelah aku berjuang meninggalkan keluargaku untuk meraih mimpiku disini, hidupku malah hancur dalam semalam. Eomma pasti kecewa terhadapku." Yena mengusap matanya dengan kasar. Dia benar-benar membenci semua ini. Dia benci hidupnya.
***
Yena membuka matanya perlahan. Astaga, Yena rasa badan dan lehernya akan remuk sebentar lagi. Ya, dia akhirnya memilih untuk tidur di sofa daripada tidur di luar.
"Pesankan aku sarapan." Jihoon yang masih mencoba menyadarkan dirinya menyuruh Yena untuk memesankan sarapan.
"Kau mau makan apa?" Yena mengambil handphone-nya dan memesan beberapa makanan untuk mereka.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Yena memasuki kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
"Hei, apakah kita akan pindah ke rumah itu hari ini?" tanya Yena kepada Jihoon sambil mengeringkan rambutnya.
"Ya." jawab Jihoon tanpa mengalihkan pandangannya.
Mendengar jawaban Jihoon, Yena hanya mengangguk sekilas dan mulai membereskan kopernya dan koper Jihoon.
Tok tok tok...
"Biar aku saja yang buka." ujar Yena dan berjalan ke arah pintu kamar mereka.
Cklek...
"Oh! Ada apa bibi?" tanya Yena sopan kepda ibu Jihoon
"Sudah kubilang, jangan panggil aku bibi. Panggil saja ibu."
"Ah, baik i-ibu?"
"Aku kemari untuk memberikan tiket honey moon kalian."
"Ah, benarkah? Kami akan pergi kemana, bu?"
"Maldives. Ini tiketnya. Ibu sudah menyiapkan semuanya disana. Selamat bersenang-senang." ibu Jihoon menyerahkan dua lembar tiket kepada Yena.
"Em, ibumu menyuruh kita untuk berbulan madu ke Maldives." Yena menyerahkan dua lembar tiket itu ke Jihoon.
"Kita tidak akan pergi."
"Huh? Ibumu sendiri yang menyuruh kita pergi ke sana."
"Apa kau kira aku mau pergi berduaan denganmu, huh? Jangan bermimpi di pagi hari seperti ini. Kembalilah ke dunia nyata."
"Apa ibumu tidak mencurigai kita nantinya?"
"Aku akan pergi kesana, tapi tentu tidak bersamamu. Aku akan pergi ke sana dengan gadisku. Sudahlah, kau. terlalu bamyak bertanya. Lebih baik kau bereskan koper kita." Yena hanya mengangguk.
Sejujurnya, dia merasa kecewa. Bukan karena Jihoon mempunyai gadisnya sendiri. Bukan karena itu. Dia lebih kecewa untuk mengetahui fakta bahwa dia tidak akan pergi ke Maldives, tempat yang selalu ingin dikunjunginya. Tidak bisakah Yena pergi kesana dengan tiket yang diberikan oleh ibu Jihoon? Dia tidak perduli jika Jihoon pergi bersama dengan gadis lain, tapi setidaknya, biarkan dia juga pergi untuk sekedar hiburan.
"Em, apa aku tidak boleh ikut ke Maldives bersamamu?" tanya Yena pelan kepada Jihoon.
"Huh? Mau apa kau?"
"Aku sangat ingin pergi ke Maldives. Boleh aku ikut denganmu? Aku berjanji tidak akan mengganggu waktumu bersama gadis itu."
"Aku pikirkan nanti." ujar Jihoon sebelum memasukan beberapa bajunya ke dalam kopernya. Yena tersenyum cerah dan melanjutkan kegiatan mengepak bajunya ke dalam koper.
Selesai membereskan koper mereka, Jihoon dan Yena segera check-out dari hotel itu. Mereka juga masih harus membereskan rumah baru yang akan mereka tempati sembilan bulan ke depan. Ya, sembilan bulan waktu untuk Yena menepati rumah itu, karena setelah bayi itu lahir ke dunia, Yena harus bersiap dengan segala kemukinan yang akan terjadi di hidupnya. Dia bahkan tidak tau apakah dia boleh membawa bayinya bersama dengannya.
•••
Kali ini ceritanya tentang Marriage Life yaa... Bukan School Life lagi. I hope you know how to appreciate this story. Thank you guys...
KAMU SEDANG MEMBACA
Him and Her
FanfictionPernikahan mereka terjadi karena sebuah kesalahan fatal yang membuat adanya nyawa lain dalam perut Yena. Jihoon tentu saja harus bertanggung jawab akan hal itu, bukan? Bagaimana nantinya kehidupan rumah tangga mereka?