Jihoon terduduk lemas di kursi tunggu. Pandangannya kosong. Keadaannya juga tak jauh beda dengan Yena. Mereka berdua tampak sangat kacau. Tidak ada yang mengeluarkan suara setelah Sejeong berkata bahwa Jaesun tidak bisa diselamatkan. Jihoon ingin berteriak kepada Tuhan, kenapa tega sekali mengambil Jaesun? Tapi memori di kepalanya kembali berputar. Dialah penyebab Yena menghirup gas beracun sialan itu. Dialah penyebab Jaesun terkena kanker. Jika saja dia lebih dulu mengalah, mungkin ini tidak akan terjadi. Pasti Yena dan Jaesun hidup bahagia bersama, meskipun dia tidak ada bersama mereka.
Setidaknya, Jihoon bisa memastikan ada yang bisa membuat Yena tersenyum. Ada yang bisa menghibur Yena dikala dia sedang sedih. Tapi itu hanyalah andaian Jihoon. Tidak mungkin menjadi nyata karena fakta bahwa Jaesun tidak bsia diselamatkan adalah kenyataan. Ini bukan mimpi.
"Yena, maafkan aku. Aku sungguh bodoh! Aku tidak bisa menjagamu dengan benar sampai-sampai itu berdampak pada anak kita." tidak masalah kan jika Jihoon menyatakan bahwa Jaesun adalah anaknya? Bukan kemauannya untuk meninggalkan Yena sendirian di Paris.
"Jaesun sudah tidak ada." hampa. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Yena. Dia tidak menangis. Dia juga tidak berteriak dan meluapkan emosi nya. Dia hanya terdiam di kursinya sambil menatap kosong ke depannya. Tidak ada emosi sama sekali di dalam dirinya. Yena sungguh mirip dengan mayat hidup sekarang, dengan kondisi wajahnya yang pucat karena baru saja sadar dari pingsan nya.
"Kumohon maafkan aku."
"Diamlah! Sampai seribu kalipun kau meminta maaf padaku, itu tidak akan mengembalikan Jaesun-ku!" Yena sedikit membentak Jihoon dengan ucapan sarkasnya itu. Dia marah. Yena pasti belum menerima keadaan ini. Jihoon bisa memaklumi itu.
"Maaf aku tak--"
"BISAKAH KAU BERHENTI MENGUCAPKAN KATA ITU?! SETIDAKNYA BUAT AKU MERASA LEBIH BAIK! BUKANNYA MERASA BERSALAH ATAS UCAPAN MAAFMU ITU! Beri aku pelukan, bukan kata maaf! Aku benar-benar membutuhkanmu sekarang, Jihoon. Kenapa kau terus mengatakan maaf kepadaku?!" pertahanan Yena runtuh. Dia menangis sejadi-jadinya, tidak peduli dengan tatapan orang yang memandang nya. Dia hancur. Jaesun-nya pergi untuk selama-lamanya ke tempat yang tidak bisa dia jangkau selagi masih hidup. Yena sudah tidak tahu lagi tujuan hidupnya apa. Semangatnya sudah hilang sedari tadi.
Jihoon yang melihat Yena menangis segera menariknya kedalam pelukan hangatnya.
"Sshh... Kumohon berhentilah menangis. Aku semakin merasa bersalah mendengar tangisanmu." Jihoon mengelus pundak Yena yang bergetar itu dengan pelan.
"Jaesun, aku mau memeluknya." ujar Yena parau. Tangisannya belum berhenti, tapi setidaknya dia lebih tenang.
"Dia sudah pergi."
"JAESUN TIDAK BOLEH PERGI! Hiks... Jaesun-ku tidak boleh pergi. Kenapa dia tega meninggalkanku sendirian disini?!"
"Kau tidak akan sendirian. Aku akan selalu menjagamu."
"Aku mau Jaesun!"
***
Yena terduduk di samping makam Jaesun dengan air mata yang masih mengalir tiada henti melalui mata indahnya. Sudah berjam-jam dia hanya menangis sambil menatap makam Jaesun. Hanya ada Sejeong dan Jihoon yang berdiri di sampingnya. Tidak ada orang lain.
"Yena, kau harus menerima--"
"Bagaimana aku harus menerima ini semua, eonnie?! Tak cukupkah aku menderita selama ini?! Tak cukupkah semua penderitaan yang kulalui selama ini?! Apa itu semua masih kurang?! Kenapa Jaesun-ku harus ikut terkena dampaknya?!" Yena berteriak marah kepada Sejeong. Tatapannya juga tak lepas dari Jihoon. Setelah semua yang terjadi di dalam hidupnya, Yena ingin memaki Jihoon dan berkata bahwa ini semua adalah salahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him and Her
FanfictionPernikahan mereka terjadi karena sebuah kesalahan fatal yang membuat adanya nyawa lain dalam perut Yena. Jihoon tentu saja harus bertanggung jawab akan hal itu, bukan? Bagaimana nantinya kehidupan rumah tangga mereka?