Back Home

529 63 46
                                    

Sehari setelah Yena dirawat di rumah sakit, dia sudah diperbolehkan untuk pulang oleh dokter dengan syarat, tidak boleh bekerja terlalu keras dan tidak boleh memikirkan hal-hal yang bisa membuat Yena stres. Tapi bukannya perhatian yang Yena dapat dari Jihoon, melainkan penyiksaan. Itu hanya membuat Yena semakin tertekan setelah pulang ke rumah.

Semenjak Yena pulang ke rumahnya, dia tidak pernah diperbolehkan keluar rumah oleh Jihoon. Di rumah, Jihoon sering membentaknya, bahkan menamparnya. Ya, itulah perlakuan Jihoon kepada Yena semenjak mereka pulang ke rumah. Tapi, Jihoon melakukan itu semua bukan tanpa alasan.

Semenjak Yena kembali dari rumah sakit, Jihoon merasa bahwa setiap hari, dia selalu mengkhawatirkan Yena. Dihari pertama mereka kembali ke rumah, perasaan Jihoon tidak tenang. Dia selalu mengawasi Yena dan berharap semoga keadaan Yena semakin membaik.

Dihari kedua dan ketiga, Jihoon selalu menentang perasaannya sendiri. Perasaan dimana terkadang, dia benar-benar ingin berada di samping Yena dan menjaganya agar keadaan Yena semakin membaik. Dia menolak fakta bahwa semakin hari, dia semakin sering memikirkan Yena dan perlahan melupakan gadisnya.

Dihari keempat dan kelima, dia mencoba bersikap kasar kepada Yena untuk menutupi perasaannya itu. Jihoon berfikir jika saja dia bersikap kasar kepada Yena, dia akan terbiasa melihat Yena kesakitan dan dia tidak akan mengkhawatirkannya lagi. Sungguh prinsip yang sangat bodoh!

Plak!

Jihoon mendaratkan telapak tangannya di pipi mulus Yena. Hanya karena Yena lupa dengan dasi yang harus dipakai Jihoon hari ini, dia harus menerima tamparan pagi dari Jihoon.

"SUDAH KUPERINGATKAN BERAPA KALI, HUH?! SEJAK KEMARIN AKU SUDAH MEMBERI TAHUMU UNTUK MENYIAPKAN DASI ITU, BODOH!" mendengar bentakan yang cukup keras dari Jihoon pagi ini cukup membuat Yena kembali merasa tertekan dengan keadaannya sekarang. Bahkan dia pernah berfikir untuk bunuh diri, tapi dia mengurungkan niatnya karena masih ada bayi tak berdosa di dalam perutnya. Karena itulah Yena masih bisa bertahan setelah seminggu dia disiksa seperti ini oleh Jihoon.

Cerai? Mulut Yena bahkan sudah ratusan kali meminta itu pada Jihoon. Tapi pria itu hanya menatap tajam Yena dan menampar nya. Kemudian Jihoon akan selalu menjawab 'tidak' untuk pertanyaan Yena.

"YA NGAPAIN HARUS DITAMPAR NJIR?!" -authorkeselsamajiun

"A-aku melupakan dasi itu. Maaf."

Plak!

Tangan Jihoon kembali mendarat di pipi Yena yang tampak membiru karena sering ditampar oleh Jihoon.

"Tatap aku ketika sedang berbicara!" dengan ragu, Yena mengangkat kepalanya untuk menatap mata Jihoon. Pandangan mereka bertemu, dan lagi-lagi Jihoon merasa bersalah untuk keadaan Yena. Namun dengan cepat dia menggelengkan kepalanya dan melangkah keluar dari rumahnya, meninggalkan Yena yang kini hanya bisa meratapi nasibnya. Dia ingin sekali kabur dari tempat keramat ini, tapi bodyguard Jihoon tersebar di segala penjuru rumah. Bahkan untuk sekedar melangkah ke taman saja, Yena perlu persetujuan dari Jihoon.

Jika dia ingin bermain di taman, salah satu bodyguard Jihoon yang berada di taman akan menghubungi Jihoon dan meminta persetujuan darinya. Jika mood Jihoon sedang dalam keadaan baik, maka Yena akan diijinkan untuk bermain di taman selama satu jam. Tapi jika mood-nya sedang buruk, dapat dipastikan bahwa Yena akan dikurung di kamarnya atas perintah Jihoon sendiri.

Yena terduduk di sofa. Matanya memerah seperti ingin menangis, tapi tidak ada air mata yang keluar. Mungkin air mata Yena sudah habis karena sejak seminggu terakhir, Yena sangat sering menangis.

"Aku benar-benar tidak sanggup menjalani hidupku." -Yena

***

Jihoon menggeram kesal lantaran tak bisa fokus dengan pekerjaannya karena terus- menerus memikirkan kondisi Yena. Jihoon mengkhawatirkan Yena, tapi gengsi untuk mengakuinya. Jihoon merasa bersalah kepada Yena, tapi dia tidak bisa meminta maaf karena ego-nya sendiri.

Him and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang