Decision

406 62 19
                                    

"Dasar gadis kurang ajar! Kau menyebutku apa tadi?!" ibu Jihoon berteriak tidak terima.

"Wanita gila." bukan Yena yang menjawab nya, tapi Jihoon.

"Apa-apaan itu?! Ada apa dengan sikapmu yang tidak tahu sopan santun?! Percuma saja ibu mendidikmu menjadi anak yang sopan sejak kecil!" tapi Jihoon tidak peduli dengan teriakan ibunya tadi.

"Apa yang salah dengan panggilan itu? Lagipula, anda yang memanggilnya dengan sebutan 'jalang' terlebih dahulu. Menurutku, wajar saja jika dia membalas nya." sebut saja Jihoon kurang ajar. Tapi jika kalian sendiri yang berada di posisi Jihoon, kalian pasti melakukan hal yang sama.

"Kau--" sebelum ibu Jihoon membalas ucapan anaknya, Yena lebih dulu berbicara.

"Jihoon, ayo kita bercerai. Aku akan mengurus surat-suratnya." sontak saja Jihoon menggeleng dengan keras.

"Tidak! Kita sudag berjanji tadi! Kau mau melanggar janjimu yang baru saja kita buat?!"

"Tapi ini demi keselamatan anak kita! Kau akan menikah sebentar lagi dengannya. Ayo kita bercerai saja dan hidup dengan tenang di jalan masing-masing. Aku sudah muak mendengar ibumu sedari tadi. Aku juga tidak mau penolakanmu itu berdampak pada bayi ini. Sebaiknya kau turuti saja permintaan ibumu agar semua masalah bisa selesai."

"BERCERAI TIDAK AKAN MENYELESAIKAN MASALAH, YENA!"

"Ya, aku juga tahu bercerai tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi untuk keadaan seperti ini, bercerai adalah pilihan baik. Ibumu tak akan mengalah begitu saja."

"Ck, kalian malah beradu mulut di depanku. Sudahlah Jihoon, relakan saja gadis itu dan nikahi Mina. Ibu berjanji tidak akan melukainya dan bayinya asalkan kau mau bercerai dengannya dan menikahi Mina." mendengar perkataan ibunya, Jihoon mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana mungkin bercerai adalah pilihan yang baik?! Jika saja dia bercerai dengan Yena dan menikahi Mina, anaknya akan terlahir tanpa ayah nanti. Bagaimana mungkin itu disebut dengan pilihan terbaik?!

"Kau mau membiarkan anak kita terlahir tanpa ayah?!" Jihoon melirik tajam ke arah Yena. Yena menggeleng pelan.

"Aku bukannya ingin membiarkan hal tersebut. Tapi coba kubalik pertanyaannya, apakah kau mau membiarkan anak kita dibunuh oleh neneknya sendiri?" kali ini Jihoon terdiam. Yah, mereka tidak peduli jika mereka membicarakan hal ini di depan ibu Jihoon. Toh itu memang kenyataan.

"Aku akan menentukan pilihanku tiga hari lagi. Beri aku waktu. Lebih baik anda kembali besok." ujar Jihoon sambil melirik sinis ke arah ibunya.

"Hm, baiklah. Semoga otak encermu itu berfungsi di saat-saat seperti ini. Ibu pergi dulu, Jihoon." sesaat setelah pintu ruangan Yena tertutup, Jihoon menghela nafasnya dan menatap ke arah Yena yang juga sedang menatap ke arahnya. Mereka benar- benar bingung dengan keadaan saat ini.

"Tenanglah, aku pasti akan memikirkan solusi terbaik buat bayi kita." Jihoon mengelus surai Yena pelan. Jujur saja, dia sendiri masih bingung dengan pilihannya nanti.

***

Sehari setelah perdebatan di rumah sakit itu, Yena sudah diijinkan untuk pulang dengan syarat, dia tidak boleh terlalu lelah dan tidak boleh memikirkan banyak hal agar tidak terlalu stres. Tapi bagaimana tidak stres jika sampai sekarang, mereka belum memutuskan pilihan apa yang paling baik untuk ke depannya?!

"Jihoon, ayo makan." Yena berujar pelan kepada Jihoon yang sedang berkutat dengan laptopnya.

"Iya." Jihoon menutup laptopnya dan berjalan mengikuti Yena ke meja makan. Mereka segera menyantap makanan itu dengan keheningan yang menyelimuti. Bukan karena mereka canggung, hanya saja, mereka sedang berpikir. Kondisi rumah tangga mereka bisa dibilang tidak baik sekarang. Kemungkinan mereka bercerai demi melindungi anak mereka sangat besar. Itu sudah pasti karena ancaman ibu Jihoon yang sejak kemarin menuntut jawaban pada Jihoon.

"Ah iya, persediaan bahan makanan kita sudah habis. Apa kau mau menemaniku belanja?"

"Ya, baiklah. Apa kau mau pergi sekarang?" Yena menggangguk. Jihoon segera mengganti pakaiannya dan masuk ke mobil bersama Yena.

"Jihoon, jika seandainya kita benar-benar bercerai nanti, nikmatilah momen ini bersamaku." Yena berucap pelan, takut jika dia mengganggu konsentrasi Jihoon.

"Tidak! Kita tidak akan pernah bercerai!"

"Aku hanya bilang 'seandainya'." Jihoon diam. Walaupun itu hanya seandainya, tetap saja dia kesal jika Yena berucap kata 'cerai'. Itu seakan membuat Yena memang ingin bercerai dengan Jihoon. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Yena juga tidak ingin bercerai dengan Jihoon.

"Apa kau mau menonton bioskop nanti?"

"Ya, tentu saja!" Yena menjawab dengan antusias. Jika mereka memilih berpisah, ini momen terakhir mereka bersama bukan? Biarlah semua berjalan dengan semestinya. Yena juga cukup tahu diri dengan latar belakang keluarganya. Dia tidak pantas bersanding dengan seorang putra tunggal dari keluarga terpandang. Yena tidak akan terkejut jika nantinya, mereka akan berpisah. Entah apa yang terjadi nanti, Yena akan menerimanya.

***

Sekarang mereka sedang mengelilingi mall untuk sekedar berjalan-jalan. Sambil menunggu film-nya diputar, lebih baik mereka berkeliling sebentar.

"Yena, apa kau mau es krim?" Jihoon menunjuk salah satu toko yang menjual beraneka macam es krim. Yena tentu saja tidak akan menolaknya. Dengan cepat Yena mengangguk. Jihoon pun menggandeng nya ke toko es krim itu.

"Kau mau rasa apa?"

"Coklat!"

"Rasa coklat dua." Jihoon membayar es krimnya dan memberikan satu cone es krim coklat kepada Yena, dan satu lagi untuknya.

"Terima kasih Jihoon!" Yena tersenyum manis dan mengajak Jihoon pergi dari toko itu dan melihat tempat lain yang kira-kira menarik untuk dikunjungi.

"Ah, aku lupa! Ini sudah jam tiga lewat! Film-nya sudah dimulai!" Jihoon menepuk keningnya pelan. Mereka segera berlari ke lift terdekat dan turun ke lantai dua dan menuju ke arah bioskop. Setelah itu, mereka segera memasuki studio tiga, tempat film mereka diputar. Ternyata mereka sudah terlambat lima belas menit.

An hour later...

Jihoon dan Yena sedang dalam perjalanan pulang sekarang. Keduanya hanya membahas hal-hal ringan seputar film yang mereka tonton tadi. Belum ada hal berat yang dibahas mereka sedari tadi. Mungkin nanti?

"Aku lapar. Kau mau mampir ke restoran terebih dahulu?" tanya Jihoon yang masih fokus menyetir.

"Eum, boleh." Jihoon mengangguk dan menepikan mobilnya di salah satu restoran yang berada dekat dengan posisi mereka sekarang.

Mari kita skip saja bagian memesan makanan. Jihoon dan Yena menyantap makanan mereka di meja yang dekat dengan jendela. Mereka makan dalam keheningan, sampai akhirnya, Jihoon membuka pembicaraan.

"Yena, apa kau mau mempercayaiku jika aku mengajakmu untuk pergi dari Korea dan menjauh dari ibuku?"

•••

Sekedar info, konfilknya ngga selesai sampe sini aja. Mamanya Jihoon tuh punya banyak mata-mata buat ngawasin gerak- geriknya Jihoon sama Yena. Kali aja gitu kan klo mereka kabur, mamanya Jihoon tau, terus Jihoon-nya ditarik ke Korea lagi.

Him and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang