Jihoon memandangi wajah pucat Yena. Dia menggenggam tangan Yena sambil mengecupnya sekali-kali. Yena belum sadar sampai sekarang, padahal sudah dua hari dia terbaring disini. Sejeong bilang, Yena terlalu lama berada di dalam air sebelumnya.
"Jihoon, boleh ikut ke ruanganku sebentar?" Sejeong tiba-tiba masuk ke ruang rawat Yena dan memanggil Jihoon. Jihoon mengangguk dan melepaskan genggaman tangannya pada Yena, kemudian mengikuti Sejeong ke ruangannya.
"Maaf sebelumnya karena telah membohongimu, tapi anakmu masih hidup sampai sekarang." Jihoon membelak. Dia hampir saja lupa menanyakan hal itu kepada Sejeong.
"Anakku ada dimana sekarang? Aku ingin menemuinya."
"Apa kau tahu bahwa kondisi kesehatan anakmu sedang tidak bagus sekarang? Dia bahkan sudah berada di ambang hidup dan mati."
"E-eh?!"
"Anakmu, Park Jaesun, saat ini sedang mengidap kanker otak dan sudah masuk ke stadium dua." Jihoon terdiam di tempat nya, terlalu kaget untuk sekedar menanggapi cerita Sejeong.
"T-tapi, bagaimana bisa?" suara Jihoon mengecil di akhir kalimatnya.
"Istrimu pasti pernah menghirup semacam gas beracun." Jihoon tidak menjawab. Dia terdiam cukup lama sampai akhirnya mengangguk.
"Sudah kuduga. Jihoon, apa kau mau menyelamatkan Jaesun?"
"Tentu saja! Lakukan apapun untuk kesembuhannya!"
"Kalau kau setuju, anakmu akan dioperasi malam ini juga. Peluang untuk anakmu bisa tetap hidup adalah 10%. Aku tidak bisa menjanjikan hal lain." Sejeong menunduk. Dia kelihatan menyesal dan merasa bersalah atas apa yang menimpa Jaesun. Tapi semuanya sudah terlambat. Mau tidak mau, terima tidak terima, itulah kondisi Jaesun sekarang.
"Ya, lakukan secepatnya. Berapapun biayanya nanti, aku yang akan mengurusnya."
"Baiklah, aku akan mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan Jaesun. Kau boleh kembali ke ruang rawat Yena." Jihoon mengangguk dan kembali ke ruang rawat Yena.
Cklek...
Jihoon membeku di tempatnya. Yena-nya sudah sadar, dan kini dia sedang melihat ke arah pintu yang terbuka. Mereka saling menatap satu sama lain dalam waktu yang cukup lama, sampai Yena mengalihkan pandangannya dan mengerjapkan matanya.
"Aish, apa air yang memasukiku begitu banyak sampai-sampai membuatku halusinasi?" Yena bergumam pelan, tapi masih bisa di dengar oleh Jihoon.
"Kau mengira ini halusinasi?" Jihoon dapat melihat bahu Yena menegang. Tangannya
bahkan ikut gemetar. Perlahan, Yena mengangkat kepalanya untuk melihat Jihoon. Ya, Jihoon-nya ada disana. Jihoon yang selalu dia rindukan, Jihoon yang selalu berada dipikirannya, Jihoon yang selalu dia harapkan untuk datang dan merengkuhnya ke dalam pelukan hangatnya. Itu Jihoon-nya."Jihoon." suara Yena terdengar sangat lirih, juga gemetar. Benarkah ini bukan mimpi?
"Yena, aku merindukanmu. Apa kau tidak merindukanku?" Jihoon tersenyum lembut dan berjalan ke arah Yena. Tangannya terangkat untuk mengelus kepala Yena.
"Ini... bukan mimpi?"
"Bukan, sayang. Aku memang ada disini."
"T-tapi, bagaimana bisa?"
"Sejeong noona yang memberitahuku. Tidurlah lagi, aku akan menemanimu disini. Kau butuh istirahat." Jihoon menarik kursi di dekatnya dan duduk di samping ranjang Yena. Tapi Yena menggeleng pelan. Dia menarik tangan Jihoon dan memeluk nya dengan erat. Bohong kalau Yena berkata bahwa dia tidak menyesal telah menyuruh Jihoon pergi dari kehidupannya secara tidak langsung. Karena, sadar tidak sadar, Yena sudah mencintai Jihoon sejak Jihoon merubah sikapnya. Dia ingin egois kala itu, tapi tidak bisa karena ada bayi yang sedang dikandungnya.
"Aku merindukanmu." Yena mengeratkan pelukannya ketika tidak mendapat respon dari Jihoon. Dia takut Jihoon akan melepaskannya.
"Aku juga merindukanmu." bukan melepaskan pelukan itu, melainkan membalasnya. Jihoon mendekap Yena tak kalah erat. Menyandarkan kepala Yena ke dada bidangnya. Jihoon menelusupkan kepalanya di ceruk leher Yena. Dia menghirup aroma cherry yang disukainya. Dia sungguh merindukan gadis yang sedang berada dalam pelukannya ini.
Disaat mereka berdua sedang melepas rindu, Yena teringat dengan ibu Jihoon dan Mina. Buru-buru dia melepaskan pelukan nya.
"Jihoon, apakah kau dan Mina sudah menikah?" ekspresi Jihoon berubah. Tentu saja, disaat dia sedang merindukan Yena dan ingin memeluknya sepanjang malam, kenapa masa lalu itu harus diingat oleh Yena?
"Ya, aku sudah menikah dengannya. Bahkan kami sudah memiliki anak." Yena terdiam di tempatnya.
"Tapi itu semua sudah berlalu. Cukup setahun aku menghabiskan waktuku bersama dia. Itu sudah cukup menyiksaku."
"A-apa kau menceraikannya?"
"Tentu saja tidak. Dia meninggal ketika Jaemi, lahir."
"Bagaimana dengan--"
"Orang tuaku? Ibuku gila dan masuk ke rumah sakit jiwa, sementara ayahku bunuh diri. Apa ada lagi yang mau kau tanyakan?" Yena hanya bisa bungkam setelah mendengar penjelasan Jihoon. Tiga orang yang menhancurkan Yena itu menerima nasib yang mengenaskan. Well, Yena tidak menyangkal bahwa dia sedikit senang mendengarnya. Bagaimanapun juga, Yena membenci ketiga orang itu. Tapi, apakah Jihoon tidak bersedih?
"Apa kau tidak sedih?"
"Sedih? Haha, untuk apa aku sedih hanya karena melihat wanita tua gila yang telah merengut kebahagianku itu gila? Sepertinya cukup pantas jika aku senang mendengar kabar bahwa ibuku sudah tinggal di rumah sakit jiwa sekarang." ucap Jihoon dengan nada sarkas.
"Tapi dia itu ibumu."
"Jangan munafik, aku juga tahu kalau kau senang mendengarnya." sepertinya mood Jihoon turun drastis sekarang. Dia selalu membenci topik ini. Kenapa Yena malah dengan sengaja memancingnya untuk mengingat masa lalu? Tak bisakah Jihoon dan Yena hanya berpelukan semalaman untuk melepas rindu? Berpisah dua tahun dengan Yena itu sulit. Sangat. Jihoon mencintai Yena, tapi ibunya selalu mencelakai Yena sampai-sampai membuat Yena menyerah atasnya. Tidak salahkan jika Jihoon senang mendengar kabar ibunya itu?
Keheningan pun terjadi. Yena sibuk dengan pikirannya, sementara Jihoon sibuk memandangi wajah pucat Yena.
Tok tok tok...
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruang rawat Yena.
"Masuk!" teriak Jihoon dari dalam.
Cklek...
"Jihoon, sebentar lagi Jaesun akan dioperasi. Keadaannya sudah semakin memburuk."
***
Jihoon mondar-mandir di depan ruang operasi. Saat ini anaknya sedang dioperasi. Dia khawatir, takut, dan panik disaat yang bersamaan. Ugh, rasanya Jihoon bisa gila mendadak.
"Aish, kenapa operasinya lama sekali sih?!" Jihoon berteriak kesal entah kepada siapa. Yena yang sedang duduk di kursi tunggu segera menghampiri Jihoon dan mengajak nya duduk. Menenangkan Jihoon ternyata tidak semudah yang dia kira.
A few hours later...
Akhirnya lampu ruang operasi berubah warna menjadi hijau. Kim Sejeong selaku dokter bedah yang menangani Jaesun keluar dari ruang operasi. Wajahnya kelihatan gelisah. Jihoon benar-benar panik melihat raut wajah Sejeong.
"Bagaimana dengan anakku?"
"Jihoon-ah, maafkan noona."
•••
First thing first, aku ngga terlalu tahu- menahu tentang penyakit kanker gitu. Aku udah research, tapi ada banyak banget istilah yang aku ngga ngerti:") Jadi merasa bego dah. Pokoknya, maklumin aku yah kalo jauh dari faktanya:"
Dan ngga tau kenapa belakangan ini mood nulisku melonjak. Vomment juseyo~ Semoga kalian ngga bosen yah sama cerita hasil gabutku ini:3
KAMU SEDANG MEMBACA
Him and Her
FanfictionPernikahan mereka terjadi karena sebuah kesalahan fatal yang membuat adanya nyawa lain dalam perut Yena. Jihoon tentu saja harus bertanggung jawab akan hal itu, bukan? Bagaimana nantinya kehidupan rumah tangga mereka?