Depresion

506 63 28
                                    

Jihoon terbangun dari tidurnya dan memegangi kepalanya yang terasa pusing. Dia tidak ingat kenapa dia bisa berada di kamar tamu rumahnya. Seingatnya, kemarin dia bersenang-senang dengan temannya di club, setelah itu dia tidak mengingat apa-apa lagi.

Cklek...

Pintu kamar dibuka. Yena berjalan ke arah Jihoon sambil membawa mangkuk bubur dan air minum untuknya. Yena meletakan buburny dan memberikan gelas berisi air kepada Jihoon.

"Tidak usah perdulikan aku." Jihoon berujar dingin sebelum melangkah ke kamar mandi melewati Yena.

"Minumlah dulu. Setidaknya air ini bisa mengurangi sakit kepalamu. Kalau kau tidak mau memakan buburnya, akan kusuruh bibi untuk membuatkanmu bubur." Yena meletakan gelas yang ada di genggamannya, kemudian keluar dari kamar itu untuk meminta bibi memasak bubur untuk Jihoon.

"Bi, tolong bikinin bubur buat Jihoon ya. Aku ke atas dulu sebentar."

"Baik." bibi Yoon segera membuat bubur untuk Jihoon dan mengantarkannya ke kamar tamu, kamar yang ditempati Jihoon sekarang.

Setelah menghabiskan buburnya, Jihoon berjalan menuju ke kamarnya yang terletak di lantai dua untuk sekedar mandi. Dia hanya lebih suka kamar mandi yang terletak di kamarnya, itu saja.

Selesai mandi dan berpakaian, Jihoon berjalan ke arah meja makan untuk memakan buah favoritnya, anggur. Menurut Jihoon, buah itu sangat enak dan benar-benar manis.

Tiba-tiba saja, Yena duduk di depan Jihoon dan langsung memakan roti bakar yang terletak di meja tanpa sedikitpun melihat ke arah Jihoon. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya, sekarang Jihoon melihat keadaan wajah Yena yang jauh dari kata baik-baik saja. Bahkan mata Yena terlihat bengkak seperti habis menangis berjam- jam.

"Kalau kau memang tidak menginginkan kehadiranku di meja makan ini, bicaralah. Aku akan segera pergi jika kau memintaku langsung tanpa perlu memandangiku dengan tatapan kebencian itu." lihatlah! Bahkan suara Yena parau sekarang. Apa- apaan ini?

"Cih, aku tidak sudi berbicara denganmu." Jihoon berpura-pura tidak perduli dengan keadaan Yena sekarang, meskipun jauh di dalam hatinya, dia 'mengkhawatirkan'? Yena.

"Aku akan kembali ke kamarku. Maaf mengganggu pagimu." Yena terlihat berjalan tertatih sembari memegangi perutnya. Sepertinya ada yang tidak beres dengan keadaan Yena.

Jihoon berjalan ke arah dapur dan menanyakan kondisi Yena ke bibi Yoon.

"Bi, ada apa dengannya?"

"Apa tuan bertanya tentang keadaan nyonya?"

"Ya. Dia terlihat kesakitan sambil memegangi perutnya tadi."

"Ah, kalau soal itu saya juga tidak tau, tuan. Sekitar jam lima pagi, saya keluar untuk berbelanja bahan makanan dan kondisi nyonya sudah seperti itu. Ketika saya bertanya kepadanya, nyonya hanya menggelengkan kepalanya pelan."

"Coba kau tanyakan padanya lagi."

"Baik, tuan." bibi Yoon berjalan ke arah kamar Yena yang terletak di lantai dua. Dia mengetuknya pelan sebelum membuka pintu kamar Yena setelah mendapat jawaban dari Yena.

"Nyonya, saya disuruh oleh tuan Park untuk menanyakan keadaan anda."

"Bodoh!" -Jihoon

Ya, Jihoon mendengar jelas perkataan bibi Yoon yang asal ceplos itu. Ugh, harga diri nya hancur sekarang.

"Tidak apa-apa bi, hanya sakit perut biasa. Mungkin nanti akan membaik sendiri."

"Apa nyonya tidak mau periksa ke dokter saja? Anda sedang hamil, nyonya. Sakit perut ini tidak bisa disepelekan begitu saja."

Ok, setelah mendengar perkataan bibi Yoon tadi, Jihoon baru ingat jika Yena sedang mengandung, eum... anaknya? Yah, terserahlah! Intinya Yena sedang mengandung sekarang! Jika kandungan Yena bermasalah dan berakibat fatal, nanti nya dia yang akan disalahkan paling pertama oleh ibunya. Jihoon tidak suka akan hal itu.

Dengan cepat Jihoon masuk ke kamar Yena dan langsung menggendongnya ke mobil. Jika kalian kira Jihoon sudah mulai perduli kepada Yena dan kandungannya, mungkin saja iya, dan mungkin saja tidak. Jihoon sendiri tidak yakin akan hal itu. Jihoon menyimpulkan bahwa dia tidak suka diri nya yang selalu disalahkan atas kejadian yang menimpa Yena. Dia benci dianggap sebagai anak yang tidak tau bertanggung jawab oleh ibunya sendiri.

"Apa-apaan?!"

"Diam!" Jihoon membentak Yena yang sekarang berada di gendongannya. Dia mendudukkan Yena di kursi depan dan segera berputar untuk duduk di kursi kemudi. Kemudian, Jihoon menjalankan mobilnya ke rumah sakit.

***

"Wali dari pasien Yena?" Jihoon segera berdiri dari kursinya dan mengikuti dokter yang hendak menjelaskan keadaan Yena.

"Kram perut yang dialami pasien mungkin terjadi akibat kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Jika pasien terlalu stres, nantinya itu akan berpengaruh buruk pada kesehatan janinnya. Saya sarankan anda membawa pasien untuk sekedar liburan dan merilekskan pikirannya."

"Baik. Terima kasih, dokter."

"Ya. Anda bisa menemui pasien di ruang rawatnya." Jihoon keluar dari ruangan dokter itu dan masuk ke ruang rawat Yena.

"Apa yang terjadi padaku?"

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan hah?! Aku bahkan tidak pernah menyuruhmu bekerja! Apa yang sebenarnya kau pikirkan, hah?! Jika kau setiap hari memikirkan sesuatu yang tidak berguna, janinmu akan terpengaruh dan ibu akan menghabisiku karena dianggap tidak bisa menjagamu! Cih, padahal kau sendiri yang salah disini." Yena melotot tak percaya dengan ucapan Jihoon barusan. Jihoon kira siapa yang menyebabkan Yena menjadi seperti ini?! Jihoon kira siapa yang terus menggumamkan nama Mina ketika dia memeluk Yena?! Siapa yang terus mengatakan 'aku mencintai Mina'?! Oh ayolah, perkataan Jihoon ketika sedang mabuk tadi malam yang mempengaruhi pikiran Yena!   Yena tak sanggup membayangkan jika suatu saat nanti, ketika anaknya lahir, Jihoon akan merebut anaknya dari dirinya, kemudian menceraikan Yena. Setelah itu, Jihoon akan menikahi Mina dan mereka hidup happily ever after.

Itulah yang membuatnya ketakutan. Yena takut jika nanti, apa yang dia bayangkan benar-benar terjadi. Terlebih lagi, dari awal mereka menikah, Jihoon sudah mengancamnya.

"Kau kira ini semua salah siapa?!! Kau yang membuatku seperti ini! Perlakuanmu kepadaku membuatku ingin mati saja rasanya. Kau kira aku mau hamil disaat aku masih ingin mengejar mimpiku?! Ini semua salahmu, bodoh!" Yena meluapkan semua emosi yang dia pendam hari ini. Bahkan tanpa sadar, Yena menangis. Dia juga tidak ingin hidup seperti ini! Dia masih ingin mengejar mimpinya! Jika bukan karena Jihoon yang mabuk dan menyeretnya paksa malam itu, Yena tidak akan memiliki kehidupan menyedihkan seperti ini!

"Jadi kau menyalahkanku sekarang?! Haha, sungguh lucu. Kukira kau hanyalah gadis murahan yang sengaja merencanakan ini semua padaku untuk menguras hartaku. Hei jalang, apa uang yang masuk ke rekeningmu itu kurang?" Jihoon melipat tangannya di dada dan berkata dengan angkuhnya.

Yena semakin tidak terima begitu kalimat yang meluncur dari mulut Jihoon didengar sendiri olehnya. Apa katanya tadi? Jalang?

Tanpa pikir panjang, Yena mencabut paksa infus yang berada di tangannya dan berjalan ke arah Jihoon. Dengan tangan kanannya yang sekarang mengeluarkan darah itu, Yena menampar Jihoon dengan keras. Tanpa mereka sadari, ibu Jihoon melihat sendiri bagaimana Yena menampar anaknya.

•••

Makin rumit aja.

Him and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang