Jihoon's Mom

526 63 52
                                    

Plak!

"Kau mengataiku jalang sementara kau yang menghamiliku?! Apa kau tidak punya cermin di rumah besarmu itu hah?!" Yena benar-benar kehilangan kesabarannya kali ini. Dia bahkan tidak perduli dengan tangan kanannya yang sudah mengeluarkan banyak darah akibat tarikan Yena. Daripada itu, hatinya jauh lebih sakit ketika Jihoon memanggilnya dengan sebutan itu. Kalian juga pasti kesal jika ada yang memanggil kalian dengan sebutan itu bukan?

"Yang kukatakan benar adanya. Huh, jalang sepertimu tidak punya malu ya untuk menamparku." mendengar perkataan Jihoon barusan membuat Yena berada diambang batas kesabarannya. Lagi-lagi tangannya terangkat untuk menampar Jihoon. Tapi sebelum tangannya sempat mendarat di pipi Jihoon, sebuah tangan menahannya dan langsung menepisnya.

"Siapa kau sehingga berani sekali menampar putraku?!" ya, itu adalah ibu Jihoon yang menyaksikan Yena menampar putranya sendiri. Melihat adegan itu membuat ibu Jihoon tak kuasa menahan emosinya yang sudah berada diambang batas.

"Astaga, bahkan ketika kau dinikahkan dengan putraku dan mendapat fasilitas penuh darinya, kau masih menamparnya? Sebutan 'jalang' mungkin cukup untuk menggambarkan dirimu." ibu Jihoon menatap Yena dingin. Tatapannya sungguh menyeramkan. Melalui tatapan mata ibu Jihoon yang terasa sangat mengintimidasi dirinya, Yena merasa bahwa kehidupannya benar-benar berakhir kali ini. Tidak akan ada lagi ibu Jihoon yang membelanya. Sekarang, Yena merasa bahwa dirinya benar-benar akan menjalani hidup layak nya di neraka. Mendapat siksaan tak hanya dari ayah Jihoon dan Jihoon sendiri, tapi kali ini ibu Jihoon akan ikut serta dalam membuat Yena menderita.

"I-ibu--"

"Aku bahkan mati-matian membujuk ayah nya agar dia setuju untuk menikahkan putaku denganmu, tapi yang didapat putraku hanya makian dari mulutmu? Apa kau tidak punya malu? Ingatlah keadaan keluargamu yang berbeda jauh dengan keadaan keluarga putaku, nak. Kau berasal dari kalangan rendahan yang sebenarnya tidak pantas untuk menjadi istri putraku. Tapi dengan berbaik hati, aku menyetujui pernikahan ini ketika ibumu datang ke rumah kami. Aku tidak tega melihatnya, berakhir dengan aku yang membujuk suamiku untuk menyetujuinya juga. Sekarang, fakta yang kudapat tidak sesuai dengan ekspektasiku. Kukira kau bisa merawat dan menjaga putraku dengan baik. Nyatanya, kau malah menampar putraku di depanku sendiri." bahu Yena bergetar mendengar ucapan dari ibu suaminya. Yena kira, ibu Jihoon selalu berada di sampingnya dan mendukungnya penuh sama seperti ibunya. Ternyata tidak sama sekali.

"Kau menampar putraku dan menyalahkan nya ketika kau juga bersalah? Untuk apa kau pergi ke club saat itu? Jika aku membalikan keadaannya dan menyalahkan mu atas nasib putraku yang kini harus menikahimu, apakah itu salah? Berpikirlah dengan logis, nak. Aku sudah banyak membantumu dan keluargamu. Aku bahkan bisa tersenyum mendapati para rekan bisnis suamiku memandangmu dengan tatapan menghakimi ketika tau bahwa kau berasal dari keluarga yang jauh berbeda dengan keluargaku. Aku kecewa melihat tingkahmu seperti ini." Jihoon sedari tadi hanya diam dan memandangi Yena dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Tak lama setelah itu, ibu Jihoon menyeret anaknya keluar dari ruang rawat Yena.

"Lebih baik aku mati saja. Ini semua memang kesalahanku. Jika aku tidak pergi ke club malam itu, mungkin dia sudah menikah dengan perempuan pilihannya, dan aku tidak akan mempermalukan keluarganya seperti ini." -Yena

Bahu Yena bergetar hebat ketika semua kalimat yang ibu Jihoon lontarkan didengar nya dengan jelas. Yena seakan hanya ingin kabur dari negara kelahirannya ini. Dia seakan mencoba untuk melupakan fakta bahwa dia sedang mengandung anak dari seorang lelaki terhomat yang bahkan tidak menginginkan bayi yang Yena kandung. Bahkan keluarga Jihoon pun membencinya seperti ini. Dia benar-benar takut untuk menghadapi kenyataan sekarang. Kenyataan bahwa keluarga suaminya benar-benar hebat dalam urusan akting.

***

"Kapan kau menceraikannya?" ibu Jihoon mengajak putranya untuk duduk di taman rumah sakit, membicarakan tentang rumah tangga Jihoon.

"Sekarang sudah terhitung satu bulan sejak kami menikah, dengan begitu bersabarlah untuk delapan bulan ke depan bu. Aku berjanji akan menceraikannya."

"Huh, sebaiknya kau cepat menceraikannya karena ibu sudah tidak tahan dengan gosip yang beredar tentangmu dan perempuan itu. Setelah kau menceraikannya, ibu akan merestuimu dengan Mina. Dia lebih baik ketimbang istrimu itu. Yang terpenting, dia bahkan berasal dari keluarga seperti kita. Kalau tidak salah, kakaknya sendiri mempunyai sebuah agensi bukan?"

"Eh? Ibu tau tentang Mina?"

"Tentu saja! Ibu tidak akan membiarkanmu memiliki sembarang kekasih. Walaupun dia hanya memiliki seorang kakak, tetapi agensi kakaknya itu cukup memenuhi standar ibu."

"Tenang saja bu, aku akan menceraikan dia dan menikahi Mina."

"Ya. Kalau perlu kau percepat saja dengan membuatnya keguguran." apa ibunya benar-benar membenci Yena sekarang? Jihoon bahkan tidak pernah berfikir untuk menggugurkan kandungan Yena. Tapi, ya sudahlah. Jihoon hanya akan menganggap perkataan ibunya tadi sebagai angin lewat. Terkadang, jika ibunya benar-benar membenci seseorang, perkataan yang dikeluarkan dari mulut ibunya akan sangat menakutkan dan terdengar seperti ancaman. Tapi Jihoon sudah terbiasa dengan itu. Maka dari itu, dia lebih memilih mengabaikannya.

"Baiklah, ibu harus pulang dulu. Apa kau akan tetap bersama istrimu itu disini?"

"Mungkin aku akan memastikan para suster menjaganya, setelah itu baru aku pulang ke rumah."

"Jaga dirimu ya."

"Iya, ibu." Jihoon meninggalkan ibunya untuk meminta tolong para suster menjaga Yena di ruangannya.

***

Jihoon membuka ruang rawat Yena dan menemukan Yena yang sedang menatap kosong ke arah jendela di depannya. Pandangannya seolah menggambarkan keputusaan dalam menjalani hidupnya. Seakan-akan, Yena memilih menyerah untuk menghadapi hidupnya sendiri, dan itu membuat Jihoon yang entah sejak kapan mengasihani Yena.

Perlahan, Jihoon berjalan ke arah ranjang Yena untuk memberitahunya bahwa Yena akan ditemani oleh beberpa suster sementara dirinya akan bekerja. Tapi belum sempat Jihoon berdiri di dekat ranjang Yena, perkataan Yena yang hampa itu menghentikan pergerakannya.

"Hei, ceraikan saja aku." tidak ada emosi apapun yang tergambar melalui ucapan singkat Yena barusan. Bahkan Jihoon sampai melotot karena terkejut dengan ucapan Yena. Bukankah mereka berjanji untuk menjalani kehidupan ini sembilan bulan ke depan?

"Apa kau tidak mendengar perkataanku tadi? Ceraikan saja aku jika ibumu memilih untuk menggugurkan kandunganku agar kau bisa menceraikanku." Yena menatap Jihoon. Tapi pandangan itu kosong. Perkataan Yena benar-benar datar. Yena lebih mirip dengan mayat hidup daripada manusia sekarang.

"Tidak akan." Jihoon menjawabnya dengan nada tak kalah datar dari Yena.

"Apa alasanmu mempertahankan hubungan ini?"

"Entahlah. Tapi mungkin aku belum puas melihatmu menderita." sadar atau tidak sadar, ucapan Jihoon barusan hanya untuk menutupi sesuatu. Perkataannya barusan sangat bertolak belakang dengan apa yang mau disampaikan oleh hatinya sekarang begitu melihat keadaan Yena yang sungguh kacau.

•••

Gatel pengen up:v

Astapir, sebel aku sama mamanya Jihoon. Ntar dikasih penyakit ngga papa kali yah? Ngga kuat lagi bikin Yena kesiksa kek gini😫

Tapi entah kenapa seneng aja gitu ngeliat komentar kalian. Ehehehehe... *plak

Him and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang