Yena mematung mendengarnya. Dia tidak bisa berpikir jernih sekarang.
"Tunggu dulu, kau bermaksud mengajakku kabur? Bagaimana dengan keluargaku?" Jihoon menghela nafasnya pelan. Dia sudah menduga Yena akan melontarkan pertanyaan ini. Karena itulah Jihoon tidak berani mengusulkan cara ini dari kemarin. Tapi untuk kondisi mereka sekarang, itu adalah pilihan yang paling baik. Anak mereka tidak terbunuh ataupun terlahir tanpa ayah. Masalah keluarga, itu bisa diurus belakangan.
"Ini cara satu-satunya, Yena."
"Tapi... apakah kau sudah menyiapkan semuanya? Maksudku, hidup di luar negeri butuh biaya yang banyak, sementara kau sendiri masih menjalankan perusahaan milik ayah dan ibumu. Bagaimana jika ayahmu mengambil alih perusahaannya?"
"Tenanglah, aku sudah menyiapkan semua nya. Dan untuk biaya hidup kita disana, aku juga sudah memikirkannya. Sebenarnya, perusahaan yang sedang kujalankan sekarang ada dua. Satu perusahaan milik ayahku, dan satu perusahaan milikku. Aku bisa mengontrol perusahaanku sendiri, dan melepaskan perusahaan ayahku. Jadi, apa kau mau ikut denganku pergi dari sini?" mendengar penjelasan Jihoon barusan tidak membuat Yena kehilangan perasaan ragunya. Yena menggit bibirnya, berusaha keras untuk memutuskan pilihan mana yang paling baik untuk bayinya.
"Bagaimana kalau seandainya, ibumu menemukan kita?" tanya Yena pelan.
"Ibu tidak akan menemukan kita. Aku bisa menjamin keselamatan kalian berdua, percayalah."
"Baiklah, aku ikut denganmu." Jihoon tersenyum mendengarnya.
"Terima kasih sudah mempercayaiku."
***
Jihoon dan Yena segera memasukkan semua barang bawaan mereka ke koper. Jihoon bilang, dia harus mengurus beberapa file penting di perusahaannya sebelum mereka pergi dari Korea. Setidaknya butuh dua hari untuk menyelesaikan semua urusannya disini, sementara dia berjanji kepada ibunya untuk menjawab di hari ketiga, yang artinya besok adalah hari dimana ibunya akan datang ke rumahnya untuk meminta jawaban. Jadi untuk menghindar dari ibunya, mereka memutuskan untuk beristirahat di villa Jihoon yang terletak di pinggir kota.
Jam sebelas malam, mereka membawa dua koper dan satu tas punggung. Mereka berangkat ke villa dengan supir pribadi. Kalau menurut perkiraan Jihoon, mereka akan tiba di villa jam lima subuh. Yena bisa beristirahat selama satu hari di villa-nya sebelum mereka berangkat ke Prancis, negara tujuan mereka saat ini.
"Tidurlah. Aku akan membangunkanmu nanti." Yena mengangguk dan memejamkan matanya. Jihoon tersenyum kecil melihat Yena yang sudah tertidur pulas. Dia menarik kepala Yena dan menyandarkannya pada bahunya, kemudian ikut tertidur.
Selang beberapa jam, akhirnya mereka sampai di villa Jihoon. Jihoon yang sudah terbangun sedari tadi segera menggendong Yena masuk ke dalam villa dan menyuruh supir mereka membawa koper dan tas ke dalam villa. Supir itu mengangguk dan mengeluarkan koper dan tas dari bagasi dan membawanya ke dalam villa. Setelah menyelesaikan tugasnya, supir tadi pun ijin pergi sebentar untuk membeli beberapa bahan makanan yang hanya diangguki oleh Jihoon. Tanpa sepengetahuan Jihoon, supir itu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Tuan Jihoon sudah sampai di villa-nya, dan kalau saya tidak salah, tujuan mereka sekarang adalah Prancis."
"Hm, Prancis ya. Baiklah, aku akan segera memikirkan rencana untuk mencelakai gadis pembawa sial itu. Tugasmu sudah selesai sekarang. Uangnya sudah kutransfer ke rekeningmu, lima kali lipat gajimu sekarang.
"Terima kasih, nyonya." supir itu memutuskan sambungannya dan pergi untuk membeli beberapa bahan makanan, seperti yang sudah dijanjikan tadi.
***
"Mina sayang, kau mau gaun yang mana?" tanya ibu Jihoon kepada 'calon' menantu nya.
"Ibu, kalau Jihoon tidak menyetujui pernikahan ini bagaimana?" tanya Mina lesu.
"Eh, kenapa kau bilang begitu?" tanya ibu Jihoon sambil memandangi Mina yang menunduk.
"Dia... dia lebih memilih gadis murahan itu bu! Kemarin dai sendiri yang berkata kepadaku, dia tidak akan meninggalkan pelacur itu bu! Semuanya kacau karena gadis itu!" Mina berteriak kesal, sekaligus sedih. Bagaimanapun juga dia sangat mencintai Jihoon. Tentu saja dia tidak rela melihat Jihoon yang memilih Yena.
"Tenanglah sayang, itu hanya sementara. Dia mencintaimu, ibu yakin akan hal itu. Dia hanya merasa bersalah sekaligus merasa bertanggung jawab untuk keadaan gadis sialan itu. Jadi, jika gadis itu keguguran, tentu saja dia akan kembali padamu."
"Tapi--"
"Ssstt... Dengarkan ibu, sayang. Jihoon itu hanya bersikap seperti itu untuk sementara. Dia hanya mencintaimu. Seminggu lagi, ibu pastikan Jihoon akan kembali padamu."
"Bagaimana caranya?"
"Sebenarnya, dia sedang berencana pergi dari Korea bersama gadis sialan itu karena takut dengan ancaman ibu."
"Dia mau meninggalkanku?!"
"Hei, tenang dulu ok? Dia tidak akan pergi jauh darimu. Ibu sudah mengetahui semua rencananya, dan ibu sendiri sudah memikirkan bagaimana cara membatalkan rencananya itu."
"Apa rencana ibu?"
"Sesampainya dia di Prancis nanti, ibu akan mengirimkan mata-mata kesana. Yah, karena ibu mempunyai belas kasihan yang tinggi, ibu akan membiarkan gadis itu untuk beristirahat dengan Jihoon selama beberapa hari. Setelah itu, ibu akan menyuruh mata-mata ibu untuk membawa Jihoon kembali ke Korea dan meninggalkan gadis itu sendirian disana, tanpa uang. Pasti dia akan mati secara perlahan disana. Tidak mungkin kan, jika dia bisa hidup tanpa uang sama sekali." jelas ibu Jihoon panjang lebar.
"Aku tak menyangka ibu Jihoon mempunyai jiwa psikopat. Tapi tak apalah, yang terpenting, Jihoon bisa kembali bersamaku." -Mina
"Kapan mereka akan pergi bu?"
"Besok. Semua sudah beres. Kau hanya perlu memilih gaunmu disini. Ibu akan mengurus semuanya." mendengar itu, Mina hanya mengangguk.
"Baiklah ibu, terima kasih."
"Haha, calon menantuku polos sekali ya. Ternyata semudah ini untuk mengambil alih agensi kakaknya itu." -psycho
***
"Jihoon, kau dimana?" Yena berjalan memutari villa besar itu sambil mengucek matanya. Dia baru saja bangun tidur.
Brak!
"Jihoon? Kaukah itu?" Yena memutar tubuhnya, tapi dia hanya melihat pintu masuk villa yang terbuka lebar. Yena menahan nafasnya sambil berjalan pelan ke arah pintu masuk villa.
"A-ada orang disana?" tanya Yena dengan peluh yang sudah membasahi tubuhnya.
Sret...
"Hmphh--" tiba-tiba saja dari belakang Yena, ada yang membekapnya. Yena ingin memberontak, tapi tenaganya tidak kuat dan perlahan, kesadarannya mulai hilang.
Bruk...
Yena pingsan.
"Tuan, nona Yena sudah pingsan."
"Bagus. Bawa dia ke rumahku. Haha, setelah ini, aku dan istriku bisa menguasai agensi terbesar kedua di Korea."
"Baik, tuan."
•••
Bikin chapter ini sambil maki-maki mamanya Jihoon. *peace
By the way, aku up spesial untuk hari ini karna... Ini tanggal 7 Juli. Happy Wannable day... So, bagi kalian para Wannable yang baca cerita aku, tetep setia ya sama semua member Wanna One. Tetep dukung mereka walaupun sekarang udah pada mencar. Wannable tetep ada di hatinya Wanna One. Uh, sayang kalian deh.
Lop u guyss...
KAMU SEDANG MEMBACA
Him and Her
FanfictionPernikahan mereka terjadi karena sebuah kesalahan fatal yang membuat adanya nyawa lain dalam perut Yena. Jihoon tentu saja harus bertanggung jawab akan hal itu, bukan? Bagaimana nantinya kehidupan rumah tangga mereka?