Scared

532 64 46
                                    

Jihoon membuka pintu rumahnya kasar. Cih, ibunya suka sekali mengancam seperti ini. Apa ibunya tidak tahu kalau Jihoon sedang khawatir setengah mati begitu mendengar kabar bahwa Yena terkena depresi ringan?! Sekarang ibunya ingin membahas pertunangannya dengan Mina?! Ugh, jika ancaman ibunya tidak semenakut kan itu, Jihoon akan tetap menemani Yena di rumah sakit, bukannya membahas pertunangannya disaat Yena sedang sakit?

Brak!

Jihoon membuka pintu rumahnya dengan kasar. Dia sedang emosi sekarang. Tapi jika dia memberontak, ancaman ibunya yang akan menggugurkan kandungan Yena akan benar-benar terjadi, dan setelah itu, tidak akan ada alasan lagi yang bisa membuat Jihoon tetap bersama dengan Yena.

"Ah, dia sudah datang rupanya. Kemari, anakku."

Jihoon melangkah mendekat ke arah ibunya dan duduk di sofa bersama dengan ibunya. Di depannya sudah ada Mina yang datang dengan kakaknya.

"Jadi pertunangan kalian akan dilaksanakan bulan depan." hampir saja Jihoon mengumpat jika tidak ingat tentang ancaman ibunya yang akan menggugurkan kandungan Yena jika dia bersikap tidak sopan. Huh, ibunya menjengkelkan sekarang.

"Tapi bu, aku kan masih mempunyai seorang is-- hmph!" belum selesai Jihoon berbicara, ibunya sudah lebih dulu membekap mulutnya dan menyeretnya ke dapur dengan alasan membuat minuman kepada Mina dan kakaknya.

"Hati-hati dengan ucapanmu sekarang! Jangan pernah mengaku bahwa kau sudah menikah di depan kakak Mina kalau tidak mau melihat istrimu keguguran!"

"Tapi bu, bukankah aku berucap fakta? Aku masih memiliki istri. Setidaknya biarkan kami hidup dengan tenang sampai Yena melahirkan anakku."

"Hm, jadi sekarang kau sudah mengakui itu anakmu. Ibu lihat, kau sudah semakin perduli dengan gadis itu dan mengabaikan Mina beberapa hari ini. Ingatlah Jihoon, ibu tidak pernah main-main dengan ucapan ibu! Jika kau menyukai jalang itu, dapat dipastikan bahwa ibu akan menggurkan kandungannya bagaimanapun caranya dan kau akan tetap menikah dengan Mina begitu kau dan dia bercerai."

"Dia bukan jalang, bu!"

"Ck, jadi sekarang kau mau menarik kata- katamu di rumah sakit minggu lalu, huh?" Jihoon memilih bungkam. Ucapan ibunya tak sepenuhnya salah.

"Intinya, kau dan Mina akan segera menikah!"

"Aishh... Kenapa ibu sangat ingin aku menikah dengannya?! Aku masih bersama Yena!" Jihoon mengacak rambutnya frustasi karena ibunya terus mendesaknya untuk menikahi Mina. Dia memang mencintai gadis itu, tapi tak bisakah dia tenang bersama Yena untuk delapan bulan ke depan tanpa ada ancaman dari ibunya? Setidaknya sampai anaknya lahir, dia harus ada disisi Yena.

Mungkin kalian berfikir Jihoon sudah gila karena keputusannya yang berubah sangat cepat itu. Mungkin dulu Jihoon memang berkata bahwa dia akan menikahi Mina secepatnya. Tapi sekarang, keputusannya sudah berubah. Entah sejak kapan Yena terus mengisi kepala Jihoon. Entah sejak kapan Jihoon sudah bertekad untuk mendampingi Yena setidaknya sampai bayi mereka lahir. Ya, keputusannya berubah secepat itu.

"Setelah kalian menikah, kakaknya sendiri berjanji untuk memberikan setengah saham perusahaan kepada Mina yang artinya, saham itu juga milikmu!"

"Kalau ini hanya masalah harta, ibu akan mendapatkan lebih banyak dariku tanpa perlu menihkanku dengan Mina secepat itu. Aku pergi."

"Kau masih ingat ancaman ibu?!"

"Ya, aku mengingatnya dengan jelas. Ibu mengancamku akan membunuh cucu ibu sendiri kalau aku tidak menuruti perkataan ibu. Tapi aku tidak takut. Kita lihat saja siapa yang lebih kuat, ibu." Jihoon segera keluar dari rumahnya dan kembali menuju rumah sakit.

Ternyata dibalik ancaman ibunya, itu semua berawal dari harta. Jihoon sungguh muak dengan itu. Dia tahu dia salah, tapi dia tidak pernah berfikir untuk membunuh anaknya sendiri. Dia tidak segila itu hanya demi harta. Tujuannya sekarang adalah, menjauhkan Yena dari ancaman ibunya dan menebus kesalahannya selama ini.

***

Yena mendudukan dirinya perlahan. Dia menatap sekeliling dan menyadari bahwa dia sedang berada di rumah sakit. Kepala nya terasa pusing sekarang.

Cklek...

Yena menoleh ke arah pintu dan menemukan Jihoon sedang berjalan menghampirinya sambil membawa beberapa makanan dan minuman.

"Apa keadaanmu sudah membaik." entah kenapa melihat Jihoon membuat Yena ketakutan. Melihat tangan Jihoon yang terangkat membuat Yena menutup matanya. Yena kira Jihoon akan menamparnya. Itu membuatnya takut.

"Hei, tenanglah. Aku tidak akan memukulmu." Jihoon mengusap surai Yena perlahan. Jihoon tersenyum pahit ketika menyadari bahwa istrinya itu takut melihat tangannya yang terangkat.

"Maafkan aku." Yena perlahan membuka matanya dan melihat Jihoon yang tersenyum padanya. Tapi bukan berarti senyuman Jihoon dapat membuat Yena merasa tenang dan tidak akan takut lagi padanya. Itu justru membuat Yena berfikir yang tidak-tidak. Berfikir bahwa lelaki di depannya ini bukan Jihoon, melainkan orang jahat yang menyamar. Karena menurut Yena, Jihoon tidak akan mungkin bersikap seperti itu kepadanya.

Membayangkan tentang orang jahat itu membuat Yena keringat dingin. Yena sudah membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi, entah itu penculikan dan lainnya. Dia menjauhkan tubuhnya dari Jihoon dan berkata dengan lirih,

"Pergi. Kau bukan Jihoon." mendengar itu sontak membuat Jihoon mematung di tempatnya. Ucapan Yena barusan seakan menamparnya. Sebegitu takutnya kah seorang Yena kepada Jihoon?

"Aku Jihoon. Tenanglah, tidak usah takut. Aku tidak akan berbuat jahat padamu."

Bukannya tenang, Yena justru menangis dan membuat Jihoon panik.

"Apa ada yang sakit?" Jihoon bertanya dengan nada khawatir.

"Pergi! Kau bukanlah Jihoon! Kau orang jahat yang menyamar menjadi Jihoon!" keringat dingin membasahi kening Yena. Air matanya tak kunjung berhenti. Sekali lagi, Jihoon merasa bersalah dan menyesal. Akibat dari perbuatannya selama seminggu itu berujung dengan membuat Yena sendiri seperti ketakutan terhadapnya.

"Aku minta maaf. Aku tidak akan berbuat kasar lagi kepadamu. Aku berjanji." Jihoon mendekati Yena, bermaksud untuk mendekapnya. Alih-alih membalas pelukan Jihoon, Yena malahan memberontak ketika Jihoon memeluknya.

"Pergi! Kau bukan Jihoon! Kau orang jahat! Jihoon tidak mungkin berbuat seperti ini padaku! Kumohon pergilah, aku tidak mempunyai apapun untuk kau rampas." suara Yena melemah, tapi dia tetap berusaha melepaskan diri dari pelukan Jihoon.

Melihat istrinya ketakutan seperti itu, Jihoon melepaskan pelukannya dan menatap Yena dengan pandangan tak terbaca.

"Apakah kau membenci Jihoon?"

"Ya! Aku membencinya! Sekarang, kumohon pergilah dari hadapanku!" Yena menatap nyalang ke arah Jihoon.

•••

Duh Jiun, jadi dibenci Yena yah sekarang. Kacian deh kamu. Sama aku aja sini. *plak

Btw, kalo alurnya agak ngga jelas, yah maklum lah ya. Aku sendiri masih belum berpengalaman, ehehe... So, terus dukung cerita ini yah.

Him and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang