Cannot leave You

491 64 32
                                    

Jihoon pulang dalam keadaan setengah sadar. Di pintu rumahnya, Yena sudah menunggunya. Melihat keadaan Jihoon seperti itu, spontan saja Yena membantunya masuk ke dalam rumah. Tapi yang dia dapat dari Jihoon malah sebuah dorongan yang cukup keras dan berhasil membuat Yena kehilangan keseimbangannya.

"Ada apa denganmu?! Aku hanya berusaha membantumu masuk ke kamarmu!" Yena berteriak sambil berusaha berdiri.

"Aku tidak pernah meminta pertolongan dari perempuan sialan sepertimu. Aku juga tidak akan menerima bantun darimu."

Brak!!!

Jihoon menutup pintu rumahnya dengan kasar dan menguncinya disaat Yena masih berdiri di luar.

"Apa kau gila?! Buka pintunya!" Yena berteriak dan menggedor pintu, namun pintu itu tidak kunjung terbuka.

"Ah, jadi hari pertama aku pindah ke rumah ini, aku harus tidur diluar?" -Yena

Yena memeluk tubuhnya sendiri sambil berjalan menyusuri jalanan kota Seoul. Suhunya sangat dingin sekarang. Ditambah lagi dengan hujan kecil yang mengguyur kota Seoul. Yena tak habis pikir dengan perlakuan Jihoon kepadanya disaat dia sedang mengandung.

Drrtt... Drrtt...

Yena merasa handphone-nya bergetar. Dia segera berteduh dan melihat handphone- nya.

Him❄ is calling...

Yena menyimpan kontak Jihoon dengan nama seperti itu karena kesan pertama yang didapat Yena setelah mengenal Jihoon adalah "Dia kelihatannya orang yang tidak mudah bergaul dengan orang lain. Bahkan ekspresi mukanya sedingin es.", karena itulah Yena menamai kontak Jihoon dengan sebutan itu.

"H-halo?" ucap Yena terbata karena suhu ini sangat dingin.

"Cepat kembali ke rumah sekarang! Ibu bilang dia akan berkunjung ke rumah besok pagi!"

"Hanya karena ibumu berkunjung ke rumah kita barulah aku boleh pulang. Sepertinya aku harus berterima kasih kepada ibumu." -Yena

"Baiklah. Aku akan pulang sekarang." Yena memutuskan sambungannya dan berbalik arah menuju rumahnya.

Sesampainya di depan rumahnya, Yena melihat Jihoon yang sudah menunggunya.

"Ck, kenapa kau lama sekali huh?"

"Hei! Kau yang mengunciku di luar rumah! Apa kau hilang ingatan mendadak?"

"Cih! Cepat masuk!" Yena berjalan mengikuti Jihoon masuk ke rumah mereka.

"Apa kau sudah tidak mabuk lagi?"

"Kau tidak perlu sok perduli padaku. Lebih baik kau mengeringkan rambutmu dan pindahkan semua barang yang ada di kamarmu ke kamarku."

"Huh?"

"Ibuku bilang dia akan datang besok pagi dan menginap semalam. Entah apa yang merasuki ibuku sehingga dia membuat kita tidur di satu kamar." Jihoon menghela nafasnya kasar. Yena hanya bisa menuruti Jihoon sebelum Jihoon marah lagi kepadanya.

Setelah mengeringkan rambut dan berganti baju, Yena segera melakukan perintah Jihoon tadi untuk memindahkan semua barang yang ada di kamarnya ke kamar Jihoon. Disaat Yena sibuk memindahkan barangnya, Jihoon hanya duduk sambil menonton TV di ruang tamu. Apa dia lupa jika Yena sedang mengandung?!

"Sudah selesai." Yena menghampiri Jihoon ketika pekerjaannya selesai.

"Ayo tidur."

"E-em, kita akan tidur satu ranjang?"

"Tidak. Kau akan tidur di sofa kamarku dan kau harus bangun jam enam pagi, kemudian membangunkanku untuk menyambut ibuku."

"Aku tidak percaya jika aku sudah menikah dengannya dan mengandung anaknya." -Yena

Mereka masuk ke kamar Jihoon dan bersiap tidur. Sebenarnya Yena sangat tidak ingin tidur di sofa lagi. Badannya serasa remuk jika dia tidur di sofa. Tapi kalau saja Yena protes kepada Jihoon, mungkin akan berakhir lebih buruk. Jadi Yena hanya bisa menerimanya.

***

Jam setengah lima pagi Yena bangun dari tidurnya dan membersihkan dirinya dahulu sebelum membangunkan Jihoon.

"Hei, bangunlah. Hari ini ibumu datang." Yena menggoyangkan tangan Jihoon pelan.

"Hm..." Jihoon mengucek matanya pelan dan segera memasuki kamar mandi.

Ting tong...

Yena berjalan ke arah pintu dan membuka nya. Ibu Jihoon sudah berdiri disana dengan dua bingkisan kecil di tangannya serta senyum yang menghias wajahnya. Yena jadi meirndukan ibunya sekarang.

Yena mempersilahkan ibu Jihoon masuk ke rumah mereka. Tak lama setelahnya, Jihoon keluar dari kamar mereka dengan penampilan yang lebih segar.

"Pagi bu."

"Pagi juga. Rumah kalian sudah bersih ya. Apa kalian yang membereskan ini?"

"Tentu saja. Pelayan rumah baru datang pagi ini."

"Tapi Jihoon, jangan biarkan Yena terlalu banyak bekerja. Dia sedang hamil sekarang."

"Iya."

"Hmpphh..." tiba-tiba saja Yena merasakan mual. Dia segera menutup mulutnya dan berlari ke arah kamar mandi.

"Astaga, cepat bantu dia Jihoon!"

"I-iya bu." Jihoon masuk ke dalam kamar mandi dan mengelus punggung Yena pelan. Ini semua hanya karena ibunya mengawasinya. Jika tidak, Jihoon tidak akan sudi melakukan hal menjijikan seperti ini.

"Apa kau sudah merasa baikan?" ingatlah, ini semua hanya akting belaka.

"Y-ya." Yena juga harus mengikuti alur drama ini.

"Hal itu sudah biasa dialami oleh ibu hamil. Jadi, kau sebaiknya menjaganya dengan baik Jihoon." Jihoon menganggukan kepalanya tanda mengerti kepada ibunya.

"Baiklah, sekarang ayo kita makan! Ibu sudah membawakan sarapan untuk kalian!"

***

Satu jam yang lalu, ibunya harus pergi ke butiknya karena ada sedikit masalah disana. Sekarang, suasana rumah mereka kembali lagi seperti sedia kala. Tidak ada lagi akting karena ibu Jihoon sedang keluar.

Jihoon memutuskan untuk menghubungi kekasihnya untuk mengajak makan siang bersama.

Calling Mine🥀...

"Halo?"

"Apa kau sudah makan?"

"Ah, belum. Kenapa oppa?"

"Temani aku makan. Aku akan menjemputmu setengah jam lagi." Jihoon memutuskan sambungannya dan segera bersiap.

"Kemana kau akan pergi?"

"Makan siang bersama gadisku. Kau boleh pergi makan siang bersama dengan lelaki yang kau suka. Aku pergi dulu." Jihoon berlalu meninggalkan Yena yang lagi-lagi terdiam karena ucapan Jihoon. Bukankah itu menyakitkan untuk didengar oleh Yena sendiri?

"Apa aku perlu menyiapkan makan malam?"

"Siapkan saja jika ingin semua makanan yang kau masak itu berakhir di tempat sampah. Aku lebih memilih masakan gadisku daripada masakanmu."

"Bolehkah aku memaki dan memukulnya? Sekali saja." -Yena

***

Tok tok tok...

Cklek...

"Ayo kita pergi makan." Jihoon menautkan tangannya ke tangan gadisnya yang hanya bisa pasrah mengikutinya. Sekeras apapun Mina mencoba menjauh dari Jihoon, tapi tetap tidak bisa. Hampir mustahil dengan sikap Jihoon yang sangat manis kepadanya.

"Oppa, istrimu bagaimana? Apa dia nanti marah kepadaku kalau melihat kita makan berdua seperti ini?"

"Dia tidak akan berani marah kepadaku. Lagipula jika dia marah, aku tidak akan perduli. Aku cukup menutup telingaku dengan earphone dan masalah selesai. Sudahlah, untuk apa kau menanyakan dia padaku? Sekarang hanyalah waktu untuk kita nikmati berdua. Ayo!"

•••

Astaoge, jadi pengen gampar orang deh...

Him and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang