Back to Korea

355 48 16
                                    

Jihoon pulang sekitar jam setengah sepuluh karena tadi ada beberapa urusan yang belum selesai. Kakinya melangkah ke depan pintu rumahnya dan memasukan kunci rumahnya ke dalam lubang pintu itu. Dia memang memiliki kunci cadangan jika semisal, Yena sudah tertidur ketika dia pulang malam.

Hal pertama yang dia lihat adalah rumah dalam kondisi gelap gulita. Tangan Jihoon menyentuh saklar dan seketika ruangan di depannya berubah menjadi terang benderang. Tapi detik berikutnya, Jihoon membulatkan matanya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Yena sedang terikat di sebuah kursi dengan kaki dan tangan yang diikat pada kursi itu. Mulut nya disumpal oleh semacam kain. Jihoon tentu saja segera melangkah mendekati Yena untuk melepaskan ikatannya.

"--mphhm----hmpph---" Yena sepertinya berusaha memperingati Jihoon akan sesuatu, tapi Jihoon tidak begitu menyadarinya. Dia terus saja melangkah mendekat ke arah Yena sampai sebuah kain mendarat di mulutnya dan membekapnya.

"Kau turuti perintah kami dengan tenang tanpa memberontak, atau nyawa istrimu akan berada dalam bahaya." sebuah suara tempat di samping telinga Jihoon sedang mengancamnya sekarang. Ketika dia sedang mencoba untuk memberontak, mata Jihoon membulat seketika, melihat seorang lelaki yang memakai masker hitam sedang menempelkan pisau di leher Yena.

"Jadi, bagaimana? Apa kau masih mau melawan?" kali ini Jihoon diam, menuruti orang yang membekapnya. Dia sangat tidak ingin melihat Yena terluka, meskipun mata nya jelas sekali melihat Yena seakan melarangnya untuk pergi. Tapi ini semua demi kebaikan Yena dan anaknya. Jihoon tidak ingin Yena terluka.

Kaki Jihoon perlahan meninggalkan rumah itu. Kepalanya sempat berputar kebelakang untuk sekedar memastikan keadaan Yena. Matanya perlahan kehilangan sosok Yena  ketika dia sudah berada di dalam mobil yang entah sejak kapan terparkir di halaman rumahnya. Pintu rumahnya ditutup. Mereka dengan tega meninggalkan Yena yang masih terikat disana. Jihoon yang ingin marah hanya bisa terdiam ketika mereka mengangkat pisau tepat di depan wajahnya.

"Diam!" seorang lelaki yang tadi membekapnya meraih ponsel yang berada di dalam sakunya. Tampaknya dia sedang menghubungi seseorang.

"Nyonya, putra anda sudah bersama kami. Apakah nyonya akan membiarkan gadis itu terikat? Atau kita bebaskan saja dia?"

Sudah Jihoon duga, ini semua rencana wanita gila itu. Tak ada harapan sekarang.

"..."

"Baik nyonya, kami akan membiarkannya terikat di dalam rumah itu. Tentu saja kami juga sudah mengunci pintunya."

"..."

"Baik, nyonya." sambungan itu terputus.

Dada Jihoon terasa sesak. Dia ingin menangis. Yena-nya berkali-kali disakiti oleh wanita gila yang berstatus sebagai ibu nya. Pandangan Jihoon bahkan sudah buram oleh air mata. Berulang kali dia mengucapkan kata maaf di dalam hatinya yang tentu saja ditujukan oleh Yena.

"Aku minta maaf. Aku tidak bisa melawan ibuku sendiri dan sekarang, kau kembali terluka karena-nya." -Jihoon

***

Satu hari terlewat semenjak 'penculikan' Jihoon malam itu. Hari ini hari pernikahan nya dengan Mina. Semua sudah disiapkan oleh ibunya. Dia hanya perlu mengucapkan janji suci dihadapan para tamu undangan, maka ibunya akan puas. Jihoon tersenyum miris mengingat Yena. Dia dan Yena bahkan masih terikat satu sama lain. Yena masih mengandung anaknya. Tapi sekarang, ibu nya yang sudah gila itu mau menikahkan nya lagi ketika Jihoon masih berstatus sebagai suami sah Yena. Jihoon merasa sangat bersalah. Bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan janji suci pernikahan nya dengan Mina di hadapan Tuhan?

Jihoon terduduk di sofa sambil memandang bintang melalui kaca jendela nya. Ini masih tengah malam, yang artinya dia masih memiliki beberapa jam sebelum menikah dengan Mina, perempuan yang dulu sempat mengisi hatinya. Tapi tentu saja perasaan itu lenyap. Kini hatinya hanya ditempati oleh Yena. Ah, mengingat Yena membuat kondisi Jihoon makin parah. Matanya sedikit bengkak. Pandangan nya kosong. Pikirannya terus saja berpusat pada Yena. Tak ada hal lain yang dipikirkan nya selain gadis itu. Jihoon lebih mirip dengan mayat hidup daripada manusia sekarang.

Pandangan Jihoon kembali memburam. Jihoon menekuk kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya di lututnya. Dia sendiri sudah lelah menangis. Tapi dia juga tidak bisa menahan air matanya membayangkan Yena yang masih terduduk di kursi dengan kaki dan tangan yang diikat. Yena bahkan masih dalam kondisi mengandung sekarang. Jihoon berkali-kali memohon kepada Tuhan untuk menolong Yena. Entah bagaimana keadaan Yena sekarang, Jihoon tidak tahu. Mereka terpisah oleh jarak. Jihoon tentu saja tidak bisa kembali ke Prancis ketika apartemen yang dia tinggali saat ini dikelilingi oleh pria berbadan tegap yang mengawasinya dua puluh empat jam tanpa henti.

Cklek...

Jihoon mendengar pintu apartemennya terbuka, tapi dia tetap diam di tempatnya, tidak peduli lagi dengan orang yang masuk ke apartemennya. Tiba-tiba Jihoon merasa ada yang menepuk pundaknya pelan.

"Oppa." dia masih ingat suara itu. Suara perempuan yang ikut serta dalam rencana ibunya. Seorang perempuan yang mencintainya melebihi apapun dan berobsesi ingin memilikinya, terlepas dari ucapan perempuan itu di cafe tempo hari tentu saja.

"Apa oppa sudah makan? Mau kubuatkan sesuatu?" Jihoon tetap diam, terlalu malas untuk sekedar menanggapi ucapan gadis itu. Dia hanya butuh ketenangan sekarang. Dia tidak perlu perhatian siapapun.

"Oppa, sampai kapan kau terus memikirkan dia? Besok adalah pernikahan kita oppa. Berhentilah memikirkan dia dan istirahatlah yang cukup." lagi-lagi Jihoon diam. Gadis itu tentu saja kesal dengan Jihoon yang sama sekali tidak merespon nya. Dia menarik tangan Jihoon dengan paksa.

"Oppa!"

"BERHENTILAH MENGGANGGUKU MINA! APA KAU TIDAK PUAS DENGAN KONDISIKU SEKARANG?! KAU MAU MENYIKSAKU LAGI, HAH?!"

"Aku tidak pernah menyiksa oppa!"

"Ah, sialan! Pergi dari apartemenku sebelum aku menyeretmu keluar dari sini!"

"Op--"

"KELUAR!"

"Tidak!"

"Baiklah, kau yang memintanya." Jihoon menarik pergelangan tangan Mina dengan kasar, mengabaikan teriakan gadis itu dan tetap menyeretnya paksa untuk keluar dari apartemennya.

"Satu hal lagi, berhentilah memanggilku dengan panggilan menjijikan itu!" Jihoon menutup pintu apartemennya dengan kasar ketika dia sudah menyeret Mina keluar.

"Bajingan sialan! Mereka semua tidak memiliki otak! Benar-benar manusia tak punya perasaan!" Jihoon mengacak rambutnya frustasi. Dia kembali memikirkan Yena.

•••

Jangan diikuti umpatannya Jihoon. Ngga baek.

Him and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang