Threat

480 64 14
                                    

Sudah berjam-jam Jihoon mencoba untuk meyakinkan Yena kalau dia bukan penjahat dan dia ingin meminta maaf atas kelakuan nya selama ini. Tapi selama itu pula Yena berteriak dan menangis sambil mengusir Jihoon. Rasanya Jihoon ingin berteriak kalau dia menyesal memperlakukan Yena sejahat itu selama ini, tapi mungkin pilihan terbaik untuk Jihoon adalah membiarkan Yena merasa lebih tenang dulu. Selain itu, dia bisa apa kalau Yena berteriak dan menangis ketakutan seperti itu? Jadi, Jihoon lebih memilih mengawasi Yena melalui kaca jendela ruang rawatnya dan berharap nantinya Yena bisa memaafakan semua perbuatannya selama ini.

Jihoon masih setia mengawasi Yena melalui jendela kaca disaat hari mulai gelap. Jihoon bahkan tidak sadar kalau sekarang sudah jam sembilan malam. Dia hanya mengawasi Yena yang sedari tadi hanya menatap ke arah jendela.

"Maaf tuan, tapi apakah anda menunggu seseorang?" seorang perawat yang daritadi melihat Jihoon yang masih betah di tempat nya memutuskan untuk menghampirinya. Barangkali dia bisa membantu.

"Ah, tidak. Saya hanya mengawasi seseorang."

"Apa tidak sebaiknya anda menemuinya langsung?" Jihoon hanya tersenyum kecil dan menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh suster tadi.

"Baiklah, saya permisi."

Drrtt... Drrtt...

Jihoon melirik sekilas ponselnya yang bergetar.

Mine🥀 is calling...

Jihoon berdecak pelan sebelum mengangkat panggilan dari kekasihnya.

"Halo?"

"Oppa, kenapa kau pergi tadi? Kakakku jadi meragukanmu karena sikapmu tadi."

"Ah, maafkan aku."

"Apa oppa tidak senang akan bertunangan denganku?"

"Tentu saja aku senang! Tapi sekarang ada sedikit masalah Mina. Bersabarlah, ok? Aku akan menghubungimu besok."

"Baiklah oppa. Selamat malam."

Tut!

Jihoon menghela nafasnya pelan. Ini sungguh rumit. Di satu sisi, dia tidak mau kehilangan Mina-nya yang sudah bersama dengannya sejak lama. Tapi di sisi lain, dia mulai menyadari keberadaan Yena dan tidak ingin gadis itu merasa terpuruk. Seakan ada perasaan yang menyuruhnya untuk menjaga Yena, bukannya Mina. Tapi kembali lagi ke awal. Mina sudah bersama dengannya sejak lama. Dia tidak mungkin meninggalkan Mina begitu saja.

"Ugh, kenapa harus ada dua pilihan?!" Jihoon mengacak rambutnya frustasi. Perasaan ini sungguh menyiksanya dan membuatnya selalu ragu untuk memilih di antara Yena dan Mina. Tapi satu hal yang bisa Jihoon janjikan, dia tidak akan menceraikan Yena sebelum anaknya lahir. Setelah itu, Jihoon tidak bisa berjanji untuk hal apa saja yang akan terjadi. Who knows?

***

"Percayalah padaku, kumohon. Sungguh, aku tidak ingin menyakitimu." Jihoon memelas di hadapan Yena yang terus saja mengusirnya pergi. Walaupun Yena mengusirnya beberapa kali, itu tak membuat Jihoon menyerah.

"Kau boleh menghindariku untuk beberapa hari ke depan, tapi kali ini percayalah padaku. Aku hanya ingin membawamu pulang ke rumah kita." sudah hampir satu jam Jihoon mencoba meyakinkan Yena yang terus-menerus menolaknya. Percayalah, ditolak itu menyakitkan.

"Sama kek lu yang nolak Yena pas kalian nikah! Tau rasa digituin! Enak kan!" -author

"Ok. Tapi jangan memaksaku untuk menerimamu sekarang. Aku butuh waktu." dalam hati, Jihoon berteriak senang.

"Tentu. Kalau begitu, ayo kita pulang!" Jihoon membawa tas yang berisi pakaian ganti Yena selama di rumah sakit dan berjalan menuju ke parkiran bersama Yena.

Him and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang