[EMPATPULUH SATU]
RINTIK hujan mulai terdengar cukup deras ditemani beberapa kilat yang sesekali menerangi gelapnya malam. Membuat gadis dengan rambut dicepol tinggi itu beralih dari arah buku pelajarannya, ke arah jendela kaca yang sengaja tidak tertutupi tirai.
"Deres banget.." gumamnya kecil sebelum beralih kepada sosok bertubuh kekar yang kini tengah berbaring tepat disisi ranjangnya.
Sosok yang kini tengah terlelap dengan balutan bed cover putih dengan sedikit corak bunga kepunyaannya. Berbaring menghadap ke arahnya dengan kedua tangan yang tengah memeluk pergelangannya.
Menghadirkan senyum kecil dibibir polos Selena, beralih mengusap rambut setengah basah Devon. Usapan yang tentu semakin membawa cowok itu menuju alam mimpi.
LINE!!
Secepat kilat gadis itu melirik benda pipih kepunyaan Devon, tak ingin sebuah suara dari notifikasi kembali mengganggu tidur kekasihnya. Hanya berniat untuk mengubah mode suara, sebelum pesan yang masuk mengalihkan perhatiannya.
Papa
Dimana kamu? Papa kirimkan alamat, datang sekarang.Papa
📍Rumah sakit Avernia MountDahi gadis itu berkerut bersamaan dengan pesab kedua yang masuk ke dalam layar. Sempat terdiam untuk beberapa lama, menimang tentang apa yang harus ia lakukan saat ini.
Papa
Lantai 7, ruang operasi. Mama kamu kritis.Bola mata Selena melebar, debaran dalam jantungnya bahkan terasa. Membaca kata demi kata yang ia semogakan adalah salah dengan tangan gemetar.
Selena tahu jika hubungan antara Ibu dan Anak itu memanglah tidak harmonis. Kesibukanlah yang tentu menjadi penghalang Devon untuk bertemu dengan Ibu kandungnya sendiri.
Meski begitu, sosok Devon tetaplah sosok penyayang. Bagaimana ia selalu menceritakan kisah manis antara dirinya dan Sang Ibunda adalah salah satu bukti nyatanya.
Kembali disadarkan dengan suara dengkuran halus yang mencolos dari bibir berkumis tipis itu, gadis yang malam ini sudah terlihat mengenakan piyamanya kini kembali menyibakkan bed cover tebal yang menyelimuti.
Mencoba untuk bergerak pelan menghampiri Devon, berakhir mengusap dahinya lembut. Mendatangkan kerutan disana. Tanda bahwa dirinya terganggu.
"Von?" dengan suara bergetarnya, Selena berbisik.
Tak ada tanggapan, tentu saja, "Sayang?"
Gadis itu menggigit bibir bawahnya saat panggilan lembutnya perlahan membawa nyawa Devon kembali ke tempat. Menimang tentang apa yang akan dirinya katakan disaat cowok itu adalah sosok yang terbilang 'gampang panik'.
Meski di akhir, ia tetap tak mendapatkan satupun ide yang bisa dirinya jadikan alasan untuk membawa Devon beranjak dari kasurnya dan pergi menemui Sang Bunda.
Hanya mampu mengandalkan ucapan refleksnya kala manik indah dengan hiasan bulu mata lentik itu terbuka.
"Hm?" gumamnya dengan kedua tangan yang kini beralih memeluk pinggangnya.
"Aku..." Selena merutuki kegugupannya, "Aku sakit perut. Mau temenin aku berobat, gak?"
Kepala Devon sontak terangkat dengan tatapan yang kini mengarah kepada perut ratanya, wajah lesu itu seketika berubah khawatir dan itu semakin membuat dirinya tak tega karna sudah berbohong.
"Halangan?"
Mau tak mau, Selena mengangguk, "Sakit banget. Aku gak kuat."
Tanpa aba, tubuh itu beranjak bangkit sebelum memperhatikan wajah pucat gadis cantik disampingnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
As If It's Your Last
Romance[#1 in BFF - 9 Mei 2018] Selena dan Devon. Dua makhluk ciptaan Tuhan yang tak pernah terpisahkan. Banyak yang bertanya-tanya mengapa kedua orang itu dapat bersahabat akrab, bahkan tak sedikit yang mengira mereka berdua memiliki sebuah hubungan. Na...