43• Janji Seumur Hidup

6.9K 535 107
                                    

[EMPATPULUH TIGA]




SUARA pintu yang diketuk, perlahan mengembalikan pilu yang tengah Devon rasakan selama hampir dua puluh jam ini.

Memalingkan kepalanya seraya tersenyum lebar karna demi apapun, ia bisa mencium aroma khas gadisnya dari jarak sepuluh meter.

Sementara Selena yang tengah tak bisa membalas senyuman termanis itu, hanya mampu memalingkan wajahnya. Berpura-pura sibuk meletakkan pakaian serta keperluan Devon lainnya di dalam sebuah laci berukuran sedang yang berada di pojok ruangan.

Tidak menyadari kalau tatapan hangat Devon tengah memburunya dalam diam. Menatap punggung mungil gadisnya dengan penuh syukur, karna disaat seperti ini, ia memiliki seseorang yang dapat dirinya andalkan.

"Jalanan macet?"

Selena mengangguk sembari bergeming; "Hm." Tanpa menoleh, tentu saja, dadanya terlalu sakit untuk menerima hantaman dari wajah indah itu.

"Aku aja nanti yang rapihin, kamu sini duduk."

Kali ini gadis itu menggeleng, sepertinya Devon mulai menyadari gerakan lamban dirinya yang memang sengaja meletakkan pakaian secara satu persatu. Membiarkan suara alat pendeteksi detak jantung yang dipasang ditubuh Okta mengambil alih suasana.

"Tadi Mama sempet kejang."

Pergerakan tangan Selena berhenti, ia bahkan tanpa sadar memasukan tas yang dirinya bawa ke dalam laci. Tak memperdulikan isi di dalamnya yang dijamin tumpah ruah.

"Terus?" panik Selena setelah mendaratkan dirinya dikursi sebelah Devon.

Terlihat menatap kekasihnya itu penuh harap, yang justru dibalas Devon dengan senyum biadap. Senyum termenggemaskan yang tidak pernah gagal membuat jantungnya berdegub.

"Kata dokter itu salah satu efek pasca operasi. Tapi sekarang udah gak apa-apa."

Helaan napas panjang Selena hembuskan, rasanya ia baru saja mendapati pembatalan pemanggilan dari surat kematian yang sempat dirinya terima.

Beralih memandangi wajah lelah ditambah kantung mata yang mulai terlihat, perlahan mengusap sisi wajah Devon yang ketampanannya tak pernah berkurang dalam situasi apapun.

"Kamu gak ngantuk? Makan udah?"

Rasanya, tak adil jika disaat genting seperti ini, dirinya memilih bersikap dingin kepada Devon.

Mendapati perlakuan manis Selenanya, pengembangan bibir indah itupun semakin terlihat.

"Seneng deh ada yang khawatirin aku."

Dengan berdecak, ditariknya usapan yang tadi sempat dirinya lakukan, "Biasanya emang aku gak khawatirin kamu?"

"Ya khawatirin," ujarnya sembari menarik satu tangan Selena, "Tapikan dulu sebagai sahabat. Kalo sekarangkan pacar."

Menggenggam telapak gadis itu sebagai pertanda kalau dirinya tengah membutuhkan tempat untuk berlindung. Dan tanpa perlu diucapkan, Selena sudah membuka lebar tempat persembunyian itu.

Mengakibatkan situasi yang kembali hening dengan pandangan keduanya yang saling tatap. Tak ada yang berucap, karna perasaan tahu siapa pemiliknya.

"Na?"

"Hm?"

"Nanti pas Mama keluar dari sini, kita mau tunangan dulu apa langsung nikah?"

Napas Selena berhenti, bahkan ekspresinya berubah total. Tidak pernah mengira jika Devon akan mengatakan hal konyol seperti itu.

As If It's Your LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang