[DUA BELAS]
DENGAN kening yang berkerut, Selena mematikan panggilan yang menyapa ponselnya. Sudah lebih dari dua jam ini, bahkan sebelum kelas dimulai, nomor asing itu terus-terusan menghubungi Selena.
Beberapa kali gadis itu angkat yang hanya berakhir dengan suara kosong. Tak ada sautan dari lawan bicaranya, membuat Selena hampir saja berteriak memaki saat ia tengah mengikuti kelas Psikologi Klinis tadi.
Selesai mematikan panggilan yang kembali menyapa, gadis itu memasukan malas ponselnya ke dalam saku celana jeansnya. Kemudian maniknya mulai menatap sekitar, mencari sosok Devon kalau-kalau cowok itu sudah berada di area fakultasnya untuk datang menjemput.
Karna pencariannya tak membuahkan hasil, gadis itupun memilih untuk beranjak dari sana dan pergi menuju kantin. Berniat memakan somay langganannya sambil menunggu kehadiran Frisly yang saat ini masih berada dikelas lain bersama para junior mereka, karna ada satu mata kuliah yang dulu belum sempat gadis itu ambil.
Kalau dibilang penyendiri, Selena bukan tipikal orang yang seperti itu. Ia memiliki banyak kenalan dikampus, apalagi karna ia memiliki sebuah jabatan yang cukup penting di fakultasnya. Namun untuk berteman, gadis itu adalah tipikal orang yang pemilih.
Sejauh ini, teman yang dapat memasuki kehidupannya masih bisa dihitung dengan lima jari.
Suara bising yang memasuki telinganya saat ia menginjakkan kakinya di kantin jelas saja menarik perhatian Selena. Dan begitu beralih pandang, sang biar onar yang tadi dirinya cari ternyata adalah sumber dari kebisingan sore hari ini.
Ke-empat orang cowok aneh itu tengah bermain tumpukan kartu di salah satu meja kantin. Dan sepertinya, saat ini giliran Devon yang bermain untuk meletakkan satu kartu diatas tumpukan kartu yang sudah berdiri kokoh dengan membentuk segitiga.
Keseriusan Devon membuat sebuah ide jahil menyapanya, dengan senyuman picik, Selena berjalan mendekat ke arah Devon yang tengah berjongkok di atas lantai. Pandangan cowok itu terfokus pada kartu-kartu di hadapannya.
Ketika dirinya ingin meletakkan kartu kepunyaannya, dengan sengaja Selena menyenggol Devon hingga membuat tumpukan kartu itu jatuh berhamburan.
Tidak seperti Fabio, Martin dan Davi yang puas tertawa cekikikan. Devon terlihat menggeram kesal dan hampir saja membalikan meja yang berada di hadapannya.
"WOY, BANGSAT!!" Umpatan itu berhenti ketika matanya menemukan sosok Selena yang tengah berdiri tepat di belakangnya.
Dan wajah marah berwarna merah itu seketika berubah drastis menjadi senyuman manis nan indah. Bahkan cowok itu terlihat melambaikan tangannya.
"Nanaku!"
Selena menahan tawa, berusaha untuk tak merubah ekspresi juteknya, "Sorry." Katanya sinis yang kemudian terlihat duduk disamping Fabio.
Devon mengangguk cepat, lalu ikut duduk di hadapan Selena, "Its okay, lo udah selesai kelas?"
"Udah, tapi mau nungguin Frisly. Dia belom kelar."
Lagi-lagi Devon mengangguk sok mengerti, "Makan udah? Mau makan apa?"
"Somay sama es campur."
Cowok itu kembali mengangguk, tak lama pandangannya berpindah ke arah Fabio, "Pesenin princess gue, Bi. Somay sama es campur."
"Eh, tai. Udah gue bilang kalo nyuruh jangan panggil, Bi! Lo fikir gue bibi lo?"
"Lah, nama lo kan Fabio, gila. Ya gue panggil Bi, lah."
KAMU SEDANG MEMBACA
As If It's Your Last
Romance[#1 in BFF - 9 Mei 2018] Selena dan Devon. Dua makhluk ciptaan Tuhan yang tak pernah terpisahkan. Banyak yang bertanya-tanya mengapa kedua orang itu dapat bersahabat akrab, bahkan tak sedikit yang mengira mereka berdua memiliki sebuah hubungan. Na...