34• Bukan Kenangan Indah

5.1K 504 35
                                    

[TIGAPULUH EMPAT]




DENGAN satu tangan yang terlihat menenteng tas ransel hitamnya malas, wajah kusut cowok itu masih mencoba menampilkan senyuman.

Menghampiri Vivi yang tengah sibuk berkutat di ruang keluarga rumahnya dengan berbagai macam kertas tergeletak memenuhi meja kaca dihadapannya. Tak lupa satu buah laptop yang menyala, menampilkan sebuah dokumen dalam layar.

"Dari mana kamu?"

Sempat melirik jam dinding besar di dekat pendingin ruangan, cowok itu mengumpat kecil. Tidak menyadari kalau waktu sudah menunjukan pukul dua dini hari.

"Ada urusan."

Nyatanya, hanya jawaban itu yang dapat dirinya jadikan alasan. Tak mungkin berkata jujur dan bilang kalau ia baru saja pergi menghampiri Selena dan kembali ditolak untuk yang ke seribu kalinya oleh gadis itu.

Meski tetap saja, apapun yang dirinya jadikan jawaban, sebuah pukulan cukup keras tetap menjadi respon atas apa yang baru saja dirinya katakan.

Pukulan yang berasal dari arah Fernand yang entah datang dari mana. Menghadirkan kepalan kuat dikedua tangannya meski ia tetap diam tak mungkin melawan.

"Berani kamu bicara seperti itu dengan orang tua?! Dimana sopan santunmu?!"

Dengan rahang mengeras, ditundukannya kepala itu. Memilih menatap lantai daripada harus menatap wajah menyeramkan sang Ayah.

"Sampai kapan kamu mau membuat Papa dan Mamamu ini naik darah, Verza?" Vivi menyambar, berusaha menenangkan Fernand dengan cara mengusap punggung suaminya itu.

Sementara Fernand yang masih terlihat emosi, bersusah payah menarik napasnya dalam sebelum menghembusknnya kasar.

"Cepatlah menikah dengan anak Tiara dan keluar dari rumah ini jika kamu mau hidup dengan bebas dan tanpa larangan."

Ucapan terakhir yang berhasil masuk ke dalam telinganya sebelum kedua orang tua Verza beranjak pergi dari ruang keluarga ini. Meninggalkannya seorang diri dengan ditemani aura hitam mengelilingi.

Menahan amarah tentu bukan hal yang mudah, terlebih jika ia tak bisa menyalurkannya. Jadi sebelum dirinya beralih menghancurkan berbagai macam perabotan berharga yang ada di sekelilingnya, cowok itu memilih melangkah.

Berjalan cepat menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Membuka pintu berwarna putih itu sebelum menutupnya kasar. Melemparkan tas yang sedari tadi dirinya genggam tepat ke arah lemari kaca yang dipenuhi oleh puluhan action figure yang tersusun rapih.

Membiarkan koleksi berharganya itu jatuh berserakan ke atas lantai. Sudah tak memperdulikan penyelasan yang akan ia rasakan besok pagi kala mengingat perjuangannya saat mengumpulkan benda-benda mungil itu satu persatu, Verza beralih menuju meja belajarnya.

Memporak-porandakan benda yang berada diatasnya, termaksud sebuah lampu belajar yang kini berakhir pecah diatas lantai. Mencoba untuk menghilangkan segala jenis emosi yang sudah belasan tahun ini dirinya pendam.

Di mulai dari Verza yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar, kedua orang tuanya sudah merancang jelas apa yang akan anak semata wayangnya itu lakukan.

Tak boleh membantah, hanya mematuhi peraturan yang diciptakan, membuat kebebasan yang seharusnya dirasa oleh seorang remaja laki-laki pada umumnya hilang. Tak memiliki pilihan lain, kedua orang tua Verza seakan balas dendam dengan apa yang dahulu pernah mereka dapatkan dari didikan kedua orang tuanya.

Melampiaskan apa yang dahulu tak pernah mereka dapatkan, kepada dirinya. Jadi jangan tanya, apakah cowok itu pernah mendapatkan atau melakukan apa yang benar-benar dirinya mau.

As If It's Your LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang