47. Hancur Sendirian

399 38 12
                                    

[EMPATPULUH TUJUH]



"LO yakin tempatnya disini?" Devon, dengan kacamata hitam diwajah dan sebuah topi yang bertengger di kepala terlihat menurunkan sedikit koran yang sudah lima menit ini ia pakai untuk menutupi wajahnya.

Dengan Raynzal yang duduk di hadapan, dan Verza yang berada disamping cowok itu. Tengah memperhatikan sekitar, kalau-kalau Selena sudah datang mengingat jam yang mereka tepati adalah jam 10.

Dan kini, jam sudah menunjukan pukul setengah sebelas.

"Selena guetuh gak pernah ngaret, apalagi terlambat. Kayaknya lo sa--"

"Sshhh! Itu dia masuk!" cegah Raynzal agar Devon tak berkomentar lebih jauh yang akan membuat penyamaran mereka terbongkar.

Mencoba semakin menundukan kepalanya agar tak terlihat. Beruntung gadis itu dan seorang laki-laki yang baru saja mendaratkan diri dihadapannya nampak mengambil tempat duduk tak begitu jauh dari dirinya.

"Cantik banget ya dia hari ini." Meski dengan nada sekecil itu, telinga sensitif Devon dapat menangkap dengan jelas kala Verza bergeming tanpa mengedipkan mata dari arah gadisnya.

Berhasil menyenggol kaki Verza dari kolong meja agar cowok itu menjaga pandangnya.

"Aku gak akan panjang lebar dan basa-basi, Om." Selena memulai bahkan saat hanya ada segelas air putih saja yang diberikan oleh seorang waiters, tak ada niatan untuk memesan apapun saat ini.

"Silahkan, akan Om dengarkan apapun itu." Balas Herma yang membuat alis Devon terangkat sebelah.

Permasalahan apa yang terjadi dan mengapa dirinya tak pernah tahu akan hal itu? pikirnya.

"Apa yang akan Om lakukan kedepannya bersama Mama?"

Singkat, padat, dan tepat sasaran. Tiga kata yang Selena ucapkan, semakin membuat kening Devon bertaut.

"Kamu tau kalau kita berdua seriuskan, Selena?" Herma bertanya, "Untuk apa pertanyaan itu?"

Selena mendengus tak percaya, dikuatkannya cengkraman kedua tangannya yang ia letakkan di atas paha kuat-kuat, "Kalian mau nikah? Terus tante Okta? Aku?---" terdiam sejenak dengan menelan berat salivanya, "Devon?"

"Om gak mikirin semua itu?" tambahnya dengan semua harapan yang perlahan pupus.

Harapan untuk mengakhiri mimpi buruk yang tak kunjung usai ini.

Sebelum menjawab, Herma terlihat meneguk segelas air putih dihadapannya, "Semuanya tidak akan terlalu rumit jika kalian mengikhlaskan."

"Apa yang di ikhlaskan, Pah?"

Berhenti. Napas Selena berhenti saat suara yang tak asing itu masuk dengan sempurna dari arah belakangnya. Bahkan ia tak ada nyali untuk sekedar menolehkan dan memandang manik indah yang pasti saat ini tengah dipenuhi rasa kekecewaan.

"Kenapa kamu disini?!" Herma bertanya panik, bahkan terlihat bangkit dari posisi duduknya ketika putra semata wayangnya itu melangkah mendekat.

Suara langkah yang semakin membuat seluruh tubuh Selena gemetar ketakutan.

"Papa sama tante Tiara mau apa? Kayaknya tadi Devon salah denger." tambahnya dengan sedikit tawa dan jari telunjuk yang ia pergunakan untuk menggaruk telinganya yang dirasa bermasalah.

"Bukan cara seperti ini yang ingin Papa lakukan untuk memberitahu kamu." timpal Herma sembari menepuk pundak Devon.

"Papa dan Tiara saling mencintai, dan kita memutuskan untuk menikah tahun depan." satu kalimat santai yang Herma ucapkan, mampu membuat urat-urat di leher Devon terlihat.

As If It's Your LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang