25

1.9K 341 9
                                    

***

Aku membunuh istri kedua appaku⸺ ucapan Mino itu membuat Lisa bergegas duduk di karpet, di sebelah Jiyong. Bobby pun duduk. Ia jauh lebih tertarik pada cerita Mino kali ini dibanding cerita Lisa tadi. Sembari kembali duduk di atas karpet, bersebelahan dengan Bobby dan bersandar pada besi pembatas balkon. Pria itu menyenggol Bobby dengan bahunya, menyuruh Bobby mengambilkan bir yang berada di dekat kakinya. Rasanya ia tidak bisa bercerita kalau masih sadar. Ia harus sedikit mabuk untuk bisa mengeluarkan isi hatinya.

"Appaku menikah lagi saat umurku masih tujuh tahun. Sebelum menikah wanita iblis itu memperlakukanku dengan baik, namun setelah beberapa bulan pernikahan mereka, taring iblisnya mulai keluar," ucap Mino setelah menenggak satu kaleng birnya, bir itu tidak cukup untuk membuatnya mabuk, namun cukup untuk mempercepat detak jantungnya, mempercepat adrenalinnya agar bisa melanjutkan ceritanya.

Melihat Mino kesulitan dengan emosinya, Lisa mengulurkan sekaleng bir lagi untuk Mino. "Terimakasih," ucapnya setelah menerima sekaleng bir baru dari Lisa. Lisa hanya tersenyum, namun gerak-gerik penasaran tidak bisa ia tutupi. "Tidak perlu tegang begitu, aku tidak akan membunuh kalian," canda Mino, yang sama sekali tidak terdengar menyenangkan. Tidak lucu. Sama sekali.

"Kau baik baik saja?" tanya Jiyong sembari melemparkan sekotak rokok untuk Mino. Jiyong tentu tahu kalau Mino tidak baik-baik saja, namun ia tidak punya kata-kata lain untuk menengkan Mino. Ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk Mino.

"Menurutmu begitu, hyung?" jawab Mino sembari mengambil sebatang rokok di kotaknya kemudian menyulutnya. "Mendengar Lisa berani menceritakan masalahnya, aku juga ingin mencobanya."

"Ceritakan saja oppa, aku mau mendengarmu, apa yang wanita itu lakukan sampai kau melukainya?" balas Lisa namun itu tidak lantas membuat Mino bisa langsung bercerita. Ada jeda satu batang rokok diantara dukungan Lisa dan kata pertama yang keluar dari celah bibir Mino.

"Awalnya dia wanita yang baik. Aku memang tidak pernah punya ibu sebelumnya, tapi menurutku dia ibu yang baik. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti masalah keluargaku, appaku sering pulang dalam keadaan mabuk dan aku sering melihat wanita itu menangis di ruang tengah. Awalnya aku hanya kasihan lalu mendekatinya, aku bertanya padanya apa yang terjadi, apa yang membuatnya menangis, kenapa ia begitu sedih. Aku penasaran. Tapi dia justru mulai menyentuhku. Membuatku benar-benar merasa sangat kotor, sangat menjijikan," cerita Mino membuat Lisa dan Bobby bertukar tatap, mereka pernah menebak masa lalu Mino sebelumnya tapi ternyata tebakan mereka meleset. "Saat itu aku terlalu takut untuk mengadu, wanita iblis itu bilang dia akan membunuhku kalau aku mengadu dan aku mempercayai ucapannya. Saat itu rasanya seperti hidup di neraka. Dia melukaiku, menyentuhku dan membuatku memakan makanan hewan, dia benar-benar iblis. Dia memberiku potongan daging terbesar saat makan malam keluarga, tapi setelah semua orang pergi dia menyuruhku membayar daging itu, dia menyuruhku melakukan banyak hal menjijikan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Itu terjadi bertahun-tahun. Siksaan tanpa akhir. Sampai suatu hari, aku tidak bisa menahannya lagi-" cerita Mino terhenti, karena Lisa yang tiba-tiba berbaring dan membaringkan kepalanya di paha Mino.

"Hei, di sini saja," tegur Jiyong sembari menarik tangan Lisa. Jiyong merasa ia perlu menyelamatan Mino dari ketidak nyamanan itu.

"Kalau hyung melakukannya untukku, aku baik baik saja," bantah Mino sembari mengelus pelan rambut Lisa, menunjukan kalau ia nyaman berada di sisi gadis berponi itu. "Tapi kalau kau mengatakannya karena cemburu, lebih baik Lisa pindah," tambah Mino membuat Jiyong langsung menggelengkan kepalanya. Kalau Mino memang nyaman dengan keberadaan dan sikap Lisa, Mino boleh memilikinya⸺ kata Jiyong.

"Aku sedang ingin dengan Mino oppa," ucapnya sebelum kemudian ia meminta Mino untuk melanjutkan ceritanya.

"Uhm... malam itu aku menolak untuk menurutinya, lalu dia marah dan mulai memukuliku, tidak berbeda dari biasanya, marah atau tidak dia tetap akan memukuliku. Dia ingin memukul appa tapi tidak bisa melakukannya, jadi dia memukulku. Tapi malam itu sedikit berbeda, hujan turun dengan sangat deras. Dia memukulku lalu menyeretku ke balkon. Dia bilang akan menjatuhkanku dari balkon kalau aku tidak menurutinya. Dia terus berteriak, sangat marah. Dia menendang, memukul, lalu menendang lagi, memaki lalu menendang lagi, hingga aku meraih kakinya dan dia terjatuh, dahinya membentur pot keramik dan bukannya menolongnya, aku justru mendorongnya hingga ia jatuh dari balkon. Malam itu juga wanita iblis itu mati. Aku membunuhnya tapi polisi bilang aku tidak bersalah karena mereka bilang itu upaya pembelaan diri. Bodoh. Aku membunuhnya tapi tidak ada polisi dan orang dewasa yang berani menyentuhku,"

"Kau menyesalinya?" tanya Bobby dengan nada yang sangat serius. "Kau ingin di hukum atas pembelaan dirimu?" tanya Bobby sekali lagi, namun tidak ada jawaban pasti yang bisa Mino berikan. Di satu sisi ia merasa kalau ia layak dihukum dan di sisi lainnya, ia tidak merasa bersalah. Bahkan kalau kejadian malam itu dapat diulang, Mino yakin ia akan melakukan hal yang sama.

"Oppa, aku tidak tahu harus mengatakan apa, tapi menurutku, polisi itu sudah melakukan hal yang benar," ucap Lisa sembari memeluk perut Mino. "Bukan salahmu kalau wanita itu melukaimu, bukan salahmu kalau wanita itu jatuh dan meninggal saat sedang berusaha melukaimu. Kalau aku ada di posisimu, aku juga akan mendorongnya dari balkon,"

"Aku sudah bertahun-tahun berkutat dengan buku hukum dan untuk kasusmu memang tidak bisa dihukum, saat itu kau masih anak-anak, tidak ada saksi dan wanita itu melukaimu. Kau benar-benar ingin dihukum?"

"Kalian berdua tidak mengerti, hm? Dia sedang merasa dihukum sekarang. Karena masa lalu itu membuatnya tidak bisa hidup normal. Dia merasa dihukum di penjara mungkin akan lebih baik dibanding hukumannya yang sekarang," ralat Jiyong dan Mino tertawa karenanya.

"Sudah ku duga hanya kau yang akan mengerti hyung-"

"Jangan tertawa, tawamu terdengar sangat menyedihkan sekarang," sela Jiyong sembari memberikan sekaleng bir pada Mino, bir itu bisa saja mengenai kepala Lisa kalau Mino tidak sigap menangkapnya. "Aku kenal seseorang yang sangat ahli mengatasi masalah seperti milikmu, kalau kau ingin berhenti merasa dihukum aku bisa mengenalkanmu padanya,"

"Psikiater? Tidak perlu, terimakasih, aku tidak gila-"

"Kau pikir aku gila? Tidak ada salahnya menemui seorang ahli untuk masalahmu itu, lagi pula menemui psikiater sudah menjadi trend sekarang, semua orang menemui psikiater karena sudah muak dengan masalah mereka sendiri," sela Jiyong sekali lagi.

"Oppa, kau menemui psikiater juga?" tanya Lisa sembari bangun dari baringannya, ia mengambil sekaleng bir untuk dirinya sendiri kemudian duduk dengan tubuh menghadap Jiyong.

"Kau juga menemui psikiater?" tanya Mino pada Lisa

"Aku pergi terapi setiap minggu, aku butuh resep untuk obatku, aku punya gangguan panik, depresi parah, kurasa aku pernah hampir gila sungguhan. Aku juga bisa mengenalkan oppa pada dokterku kalau oppa merasa sudah tidak ingin di hukum lagi,"

"Ada saat di mana kau butuh bantuan orang lain, dan mungkin seorang profesional bisa membantumu," ucap Bobby membuat Lisa mendengus sembari meliriknya. "Oppa juga harus pergi ke psikiater! Kau kecanduan alkohol!" omel Lisa kemudian, membicarakan Bobby. "Aku sampai berfikir untuk membelikanmu alkohol 70% yang ada di apotek,"

"Lalu kenapa tidak membelikannya?"

"Oppa akan meminumnya kalau aku belikan?"

Perdebatan Lisa dan Bobby, mencairkan suasana menyedihkan di sana. Keempatnya tertawa bersama, saling meledek, saling menghibur, namun tidak satupun dari mereka yang benar-benar bahagia.

Entah bahagimana kemalangan sesekali menemukan mereka. Katanya berlebihan kalau kemalangan itu digambarkan dengan semesta yang hancur atau jantung yang luar biasa sakit. Padahal, sebesar apapun kemalangan itu, sebanyak apapun kemalangan itu, selama apapun kemalangan itu, kemalangan tetaplah kemalangan. Kesedihan tetaplah kesedihan. Tidak ada yang terbiasa dengan kemalangan, tidak ada yang terbiasa dengan kesedihan. Kemalangan tetaplah menyedihkan, tetap menyakitkan.

Masalah Mino ternyata lebih berat dari masalah Lisa, lalu apa Lisa tidak boleh bersedih? Apa ia tidak pantas mengeluh? Tentu saja tidak begitu. Karena mereka memiliki ambang batas rasa sakitnya masing-masing. punya cara yang berbeda untuk menangis. Dan meminta bantuan bukanlah sesuatu yang memalukan. 

***

LoserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang