26

2K 338 9
                                    

***

Kebanyakan orang lebih takut terserang penyakit jantung atau stroke, mereka lebih senang menjaga pola makan dan berusaha tetap sehat hanya agar terhindar dari penyakit-penyakit raga. Tanpa menyadari kalau mungkin mental mereka yang sedikit demi sedikit terluka. Terjadi satu kasus bunuh diri setiap empat puluh detik. Satu orang depresi memilih untuk bunuh diri setiap empat puluh detik. Namun kebanyakan orang lebih senang mengakui penyakit jantung mereka dibanding mengakui sakit mental mereka. Pada kenyataannya terlalu banyak orang seperti Mino⸺ yang enggan meminta pertolongan profesional. Mereka takut disebut gila.

Jiyong, Bobby dan Mino berbaring di balkon apartemen Jiyong malam itu, terlalu malas untuk pulang setelah cukup mabuk dan mengantuk. "Pulanglah, tidur di apartemenmu sendiri," suruh Jiyong saat Lisa yang memang tidak minum sebanyak tiga tetangganya sedang memasukan kaleng kaleng bir kosong ke plastik sampah.

"Hm..." gumam Lisa sambil berdiri membawa plastik sampahnya kedapur. "Aku pulang, buang sendiri sampahnya, sudah ku pisahkan" ucap gadis itu setelah mengurus plastik sampah di dapur Jiyong. Gadis itu hanya mendengar gumaman dari Jiyong kemudian pulang ke rumahnya sendiri.

Lisa baru saja berbaring di ranjangnya ketika ia ingat kalau handphonenya tertinggal di dapur Jiyong. Dengan sedikit malas, gadis itu melangkah keluar dari apartemennya, menekan bel apartemen Jiyong namun tidak ada tanggapan apapun, tidak ada yang membukakan pintu untuknya.

"Apa mereka semua sudah tidur? Di balkon? Augh... dasar tukang mabuk," ucap Lisa sembari beralih ke apaetement Bobby, membuka pintu apartemen itu dengan password yang tidak pernah Bobby ganti, setelahnya berjalan ke balkon. Lisa masih melihat Mino dan Bobby berbaring di balkon, masih tidur dengan selimut masing-masing. Mereka seperti gelandangan yang tidur di teras toko orang lain.

Gadis itu berteriak memanggil Jiyong namun tidak ada jawaban, bahkan Bobby dan Mino pun sama-sama tidak bergeming, sudah asik dengan mimpinya. Lisa melompati balkon apartemen itu, melangkah masuk ke apartemen Jiyong, dan melihat adegan yang tidak pernah di duganya sebelumnya. Lisa mabuk, kepalanya berdenyut tapi ia masih bisa membedakan mana wajah tertawa dan mana wajah menangis.

Seseorang yang paling banyak tertawa memiliki rasa sedih yang paling tidak tertahankan, Lisa sangat tahu itu, karena ia pun merasakannya. Namun gadis itu tidak pernah menyangka kalau bintang seterang Jiyong juga mengalami masa yang sangat sulit dalam hidupnya. Lisa terlalu mempercayai Jiyong hingga ia percaya kalau pria itu mati rasa. Hingga ia percaya kalau Jiyong yang paling sehat di antara mereka berempat.

Tapi nyatanya, di antara mereka berempat, tidak ada yang lebih baik. Lisa tidak pernah menyangka kalau alasan Jiyong menemui psikiater ternyata bukanlah masalah insomnia biasa. "Apa yang akan oppa lakukan?" tanya Lisa sembari mendekati Jiyong di ruang tengah. Karena suara Lisa sebuah pisau dapur jatuh dari tangan Jiyong yang terlalu ragu untuk merobek pergelangan tangannya sendiri.

Jiyong tidak mengatakan apapun, hanya menundukan kepalanya, menatap pisau yang jatuh kemudian sedikit tertawa dengan begitu sinis. Pria itu bersandar pada sandaran sofa, sementara Lisa mengamati lengan Jiyong. Belum ada luka di sana dan Lisa bisa menghela nafasnya. Ia meraih pisau yang jatuh itu, membawanya ke dapur lalu melemparnya ke bak cuci piring. Kepalanya semakin berdenyut, ia takut mendengar penjelasan Jiyong, ia takut terlambat menahan Jiyong, ia menyesal karena menuruti Jiyong untuk pulang. Hingga tanpa disadari, Lisa sudah terisak di dapur. Duduk di lantai dapur dan menangis di sana.

"Kenapa kau menangis di sini?" tanya Jiyong sembari berlutut di sebelah Lisa yang terus terisak. Lisa tidak tahu alasannya menangis. Gadis itu menggeleng dan terus menggeleng sembari terisak. Di sela isakannya, Lisa bertanya alasan Jiyong membawa pisau ke ruang tengah. "Kenapa oppa berfikir untuk melakukannya?" tanya Lisa di tengah isakannya. "Apa yang kupikirkan- oppa tidak berencana melukai dirimu sendiri seperti apa yang kupikirkan, bukan?" tambahnya, masih terisak walau kini ia mengulurkan tangannya untuk merengkuh Jiyong masuk dalam pelukannya. Lisa memeluk Jiyong, menangis di bahu pria itu sembari mengucap syukurnya, bersyukur karena ia tidak begitu terlambat, bersyukur karena Jiyong belum menorehkan luka apapun di lengannya.

"Tenang lah... mereka bisa bangun karena suaramu," bisik Jiyong sembari memegangi tangan Lisa yang memeluknya, tidak sakit memang, namun pelukan serta isakan itu terasa seperti alat kejut jantung. Tangisan Lisa membuat jantung Jiyong seakan tersetrum kemudian merasa jantungnya kembali berdetak.

"Jangan berfikir untuk melakukannya lagi... aku tidak bisa hidup tanpamu, aku tidak akan bisa hidup tanpa salah satu dari kalian, aku- aku akan ikut denganmu kalau- kalau- kalau-"

"Apa yang sedang kau bicarakan? Jangan bilang begitu, kau harus tetap hidup-"

"Kalau begitu, oppa juga harus hidup. Berengsek!" maki Lisa sembari mendorong Jiyong lepas dari pelukannya. "Jangan jadi berengsek, kalau aku harus hidup, oppa juga harus hidup. Kalau oppa mati- kalau oppa mati- aku- aku- aku akan ikut denganmu..." omel gadis itu disela isakannya, ia biarkan Jiyong melihat air matanya yang mengalir jatuh dengan begitu jelas. Ia biarkan Jiyong melihat kesungguhannya.

"Kau harus bertanggung jawab atas semua yang kau katakan barusan," balas Jiyong, kali ini ia yangmemeluk Lisa lebih dulu, ia usap lembut helai rambut gadis itu. Ia tidak pernah menyangka jantungnya dapat berdetak secepat malam ini, ia tidak pernah menyangka kalau ucapan Lisa bisa menghidupkan kembali ratusan kupu-kupu yang menggelitik di dalam dirinya.

"Kenapa kau terus melihatku? Kau bisa jatuh cinta padaku nanti," ucap Jiyong pada gadis yang berbaring di sebelahnya, di atas ranjangnya, berbantalkan lengannya, di dalam kamarnya dengan pintu yang sengaja ditutup rapat.

"Kenapa oppa melakukannya? Maksudku, kenapa oppa berfikir untuk melakukannya?" tanya Lisa tanpa mengalihkan pandangannya dari Jiyong, sama sekali tidak peduli dengan ucapan Jiyong barusan. Ia tidak akan menyesal walau harus jatuh cinta pada Jiyong.

"Kenapa aku harus menjawab-"

"Ya, baiklah, jangan memberitahuku, mati saja, aku akan membantumu, akan aku ambilkan pisau-" ucap gadis itu sembari berangjak bangun dari ranjang, hendak mengambil pisau di dapur, namun tangan Jiyong menahannya, menariknya agar kembali berbaring di sebelahnya.

"Aku hanya lelah, hanya lelah karena semua-"

"Stop, besok aku akan bertanya lagi," ucap Lisa sembari melingkarkan tangannya di dada Jiyong, memeluk pria itu dengan sangat erat, seakan memohon agar pria itu tidak pergi kemanapun. "Oppa tahu cerita 1001 malam?" tanya gadis itu, masih sembari memeluk Jiyong usai ia meminta Jiyong untuk berhenti bicara.

"Aladin? Tidak semua, tapi pernah dengar, kenapa?"

"Oppa tahu bagaimana cerita 1001 malam bisa tercipta?"

"Tidak, apa hubungannya cerita 1001 malam dengan pembicaraan kita? Dan kenapa kau berani memelukku?"

"Ada kisah lain di balik cerita 1001 malam. Selain 1001 cerita itu sendiri. Seorang raja selalu ingin mendengar sebuah cerita sebelum ia pergi tidur, ia meminta seluruh selirnya untuk menceritakan sebuah dongeng setiap malam, namun begitu pagi datang, ia selalu membunuh wanita-wanita itu. Karena tidak puas dengan dongeng mereka. Hingga ia bertemu seorang wanita yang memberinya dongeng paling menarik selama hidupnya. Wanita itu tahu kalau ceritanya berakhir, ia akan mati keesokan paginya, jadi ia tidak pernah memberi tahu bagaimana akhir ceritanya. Setiap malam selama 1001 malam ia menceritakan cerita baru dan menceritakan akhir dari cerita sebelumnya,"

"Lalu setelah 1001 malam?"

"Dia berhenti bercerita,"

"Kenapa? Raja membunuhnya?"

"Tidak, raja jatuh cinta pada wanita cerdas itu dan membiarkannya terus hidup tanpa perlu bercerita lagi,"

"Dia mendongeng setiap malam selama lebih dari 2 tahun hanya agar bisa hidup? Woah... apa dia tidak bosan? Apa dia pernah menceritakan kisah yang sama dua kali? Apa dia tidak lelah-" Jiyong menghentikan kalimatnya, menghentikan komentarnya karena merasa Lisa berhasil menyentuhnya di luka yang tepat. Lisa tidak ingin mengetahui segalanya sekarang, ia bersedia menunggu selama 1001 malam, seperti sang raja.

"Aku yakin dia pasti berfikir untuk menyerah saja setiap malam, tapi apa yang akan berubah jika dia mati saat itu? Bumi akan terus berputar dengan atau tanpanya, tapi karena dia bertahan lebih dari 2 tahun, dia menghentikan rutinitas sang raja membunuh selirnya, bisa dibilang dengan bertahannya dia selama 1001 malam itu, dia menyelamatkan 1001 gadis lain?" ucap Lisa dengan mata yang mulai terpejam, tidak benar-benar tidur, hanya memejamkan matanya dan berharap akal sehat Jiyong akan kembali. Berharap pria itu akan membuang jauh jauh pikirannya untuk bunuh diri. 

***

LoserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang