Chapter 10 - Cicitan

63 8 14
                                    

Saran itu memang sifatnya membangun, kalau kritikan mah—emang tergantung orangnya. Mau mendongkrak, atau justru menjatuhkan.
~


Ada banyak orang yang menyukai hujan. Bukan hanya karena—katanya hujan itu mengingatkan kita pada seseorang saja, tapi juga pada hal yang berkaitan dengan moment penting di hidup kita. Tapi ada banyak orang juga yang tak menyukai hujan. Salah satunya Anete Geffie Abila. Iyah, lagipula, kenapa hujannya harus turun sekarang saat ia tengah bersama Fardhan sih?

Memang betul, tak semua mendung berakhir hujan. Tapi yah jangan lupakan juga jika mendung itu gejala akan hujan. Seperti Fardhan yang dengan pedenya percaya jika sore ini tak akan turun hujan. Tapi nyatanya? Mereka berdua terpaksa harus berteduh di depan toko bersama kebanyakan orang hingga menjelang maghrib hanya karena menunggu hujannya reda. Iyah, ya kali mereka harus hujan-hujanan disaat hujan tengah turun dengan lebatnya. Kalau Anete sih, ogah bener.

Thanks yah,” ucap Anete setelah turun dari motor Fardhan sembari membenarkan kerudungnya yang sudah tidak berbentuk.

Fardhan ikut mengusap wajahnya yang sedikit basah setelah melepas helm. “Kalem sih, kayak sama siapa aja deh.” sahutnya begitu santai.

Anete hanya bisa manggut-manggut canggung menanggapi sahutan Fardhan. Hari sudah tak lagi sore. Sayup-sayup ia bisa mendengar kumandang adzan maghrib yang menggema di seantero langit. “Mau—masuk dulu? Kayaknya teh hangat bisa hangatin badan loh,” tawar Anete sembari menatap Fardhan yang masih mengusap wajahnya di depan spion.

Fardhan langsung menghentikan kegiatannya dan mendongakkan kepalanya kemudian. “Ng—“

“Serem yah mainnya anak sekarang, jam segini baru pulang. Itu juga masih pakai seragam sekolah.”

“Iyah, mana si Anetenya di rumah sendirian kan yah. Pantes aja banyak anak yang nikah di usia muda. Kelakuannya gitu.”

“Ya gimana enggak kelakuannya gitu, enggak ada yang jagain. Ibunya sih mana mungkin mau sedih-sedih kelamaan setelah ditinggal mendiang suaminya.”

“Lah iyha tuh. Bingung deh, kenapa enggak dititip ke rumah neneknya aja kan yah? Daripada anaknya nanti jadi melenceng kan nyesel sendiri.”

Tak hanya Anete, Fardhan juga langsung mengalihkan perhatiannya pada dua ibu-ibu yang baru saja melewati mereka berdua. Fardhan kembali melirik sekitar rumah Anete seketika. Sepi. Padahal adzan maghrib baru juga selesai berkumandang. Maniknya langsung beralih menatap Anete yang tengah mengalihkan perhatiannya dari dua ibu-ibu tadi. Memangnya siapa yang tidak sakit hati dibicarakan seperti itu sih?

“Nete.” panggil Fardhan memecah kesunyian.

Anete langsung menoleh dan menatap Fardhan kemudian. “Iyah?”

“Lo—enggak papa?” tanyanya takut-takut.

Kedua sudut bibir Anete langsung terngkat seketika. “Kalem, kayak sama siapa aja.” jawab Anete menirukan nada Fardhan saat menjawab ucapannya beberapa menit yang lalu. “Sorry yah, jangan diambil hati omongan ibu-ibunya. Biasa gitu mereka.” lanjut Anete sedikit berbisik takut dua ibu-ibu tadi tiba-tiba ada di sekitar rumahnya.

Fardhan sedikit terkejut mendapati respons Anete yang kelewat biasa. “Lo—biasa diginiin? Emangnya lo tinggal sendiri?” tanya Fardhan tidak percaya.

“Yah—gimana lagi. Resiko tinggal sendiri Dhan,”

Ada rasa asing yang seketika menjalar di hati Fardhan kala mendengar jawaban Anete. Come on, kenapa Anete jadi tambah menarik begini sih di mata Fardhan? “Memangnya, orang tua lo kemana Nete?” tanya Fardhan sedikit berbisik takut menyinggung Anete.

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang