Chapter 22 - Permohonan

36 6 0
                                    

Kamu tak perlu meminta maaf, seharusnya aku yang berterima kasih. Sebab, rasamu ternyata seserius itu.
~

Seperti biasa, jalanan terlihat ramai. Lalu lalang kendaraan pelajar bisa Anete lihat di sekelilingnya. Maklum, sekarang waktunya para pelajar pulang ke rumahnya masing-masing.

Berhubung Anete yang sudah resmi vakum dari organisasi, kini ia bisa dengan leluasa pulang seperti siswa kebanyakan. Dan rasanya, sungguh melegakan. Ia bisa merasakan waktu luang yang bisa digunakannya hanya untuk guling-guling tak berguna. Tapi yah, ada kalanya dia rindu dengan para rekannya yang biasanya tak pernah absen merecokinya, apalagi Odi.

Kembali ke jalanan, langit sore kali ini terlihat cerah. Sepertinya hujan akan absen membasahi bumi. Tapi yah lihat saja, langit cerah tak selalu sedang tersenyum bukan?

Maniknya langsung menyipit begitu melihat seseorang yang sedang berdiri di pinggir jalan dengan beberapa kantung plastik di sekitarnya. Itu sungguh tak asing di penglihatannya. Karena penasaran, Anete pun mempercepat laju kendaraannya guna memenuhi rasa penasarannya.

“Nenek,” panggil Anete begitu lirih.

Suasana jalan yang sudah tak seramai saat ia baru keluar sekolah, ternyata membuat seseorang yang sudah berumur tadi menolehkan kepalanya. Ada binar terkejut yang bisa Anete lihat. Pun dengan Anete yang tak menyangka akan bertemu nenek dari pihak ayahnya di pinggir jalan seperti ini.

“Loh Nete, kok di sini?” tanya neneknya mengerutkan kening.

Anete sempat memandangi lekat sosok di depannya ini. Sudah berapa lama yah mereka tak berjumpa? Ternyata, neneknya tak berubah. Ia tetap terlihat bugar diusianya yang sudah berumur itu. Dan Anete selalu menyukai paras neneknya yang selalu terlihat mengesankan di penglihatannya.

Kedua sudut bibir Anete langsung tertarik setelahnya. “Aku lihat nenek, makanya berhenti di sini.” jawabnya. “Nenek mau kemana? Mau pulang?”

“Tadinya lagi nunggu pamanmu, tapi katanya mendadak ada kepentingan. Jadi nenek nunggu kendaraan umum aja.” jelasnya.

“Ya udah, ayo aku anterin nek.” ajaknya sembari turun dari motornya dan ikut membantu membawa beberapa kantung plastik yang entah berisi apa.

Ada berbagai perasaan yang membuncah dalam benak Anete. Tak sedikit pun ia berharap bisa bertemu dengan nenek dari pihak ayahnya tanpa rencana seperti ini. Memang, Anete jauh lebih dekat dengan keluarga ibu dibanding ayahnya. Dan memang dasarnya, keluarga ibunya juga tidak memberikan izin untuk mengunjungi nenek kakeknya itu. Anete pun masih tak mengerti, mengapa mereka semua seolah tengah menutupi hal penting dari dirinya—terutama ibunya sendiri.

“Ayo masuk Nete,” ajak neneknya begitu melihat salah satu cucunya yang masih bergeming di tempatnya.

Anete langsung terperanjat seketika. Dengan cepat, ia langsung menghapus kasar setitik air bening yang tak terasa membasahi pipinya. Ternyata, waktu tak bisa merubah segalanya. Masa dimana ia menginjakkan kakinya pertama kali di rumah besar ini, saat ia bermain dengan saudara-saudaranya, dan saat ia masih datang sebagai cucu dari salah satu putra di rumah ini masih teringat jelas dalam ingatannya. Teramat dalam, hingga Anete sendiri tak mengerti bagaimana cara melepaskannya.

***

Anete itu bukan tipikal orang yang mudah larut dalam kesedihan. Tapi seringnya, ia akan menghabiskan seharian penuh memikirkan hal berarti apa yang barusan terjadi hingga lupa waktu seperti orang tak berguna, dan akan kembali sehat keesokan harinya.

Hari ini boleh sedih, besok jangan. Mungkin, itulah yang selalu Anete ingat dalam setiap detiknya.

Seperti sekarang, tangannya tak berhenti menggoreskan pensil di atas buku sketsa yang sudah sejak lama menjadi tempat pelariannya. Di depannya, terpampang sketsa salah satu ruangan yang kembali ia buka dari buku sketsa ayahnya karena mengingat obrolannya tadi sore bersama sang nenek.

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang