Bukannya tak mau menerima ia yang mampu mengerti, aku hanya tak ingin menjadi salah satu dari mereka yang mau merasakan sakit, walau sudah tahu bagaimana ujungnya.
~Ini hari sabtu, dan tak biasanya sang nenek memintanya untuk menginap di rumah besarnya itu. Setelah meminta izin pada sang ibu tanpa lupa menjelaskan apa yang kemarin ia lakukan, Anete pun langsung pergi ke rumah neneknya sepulang sekolah. Dan yah, memangnya dari siapa lagi jika bukan ibu-ibu kemarin yang melihatnya sampai mengadu kepada ibu. Yang tentu hanya dibalas ibu dengan kalimat sopan, “Remaja bu, wajar kalau punya teman laki-laki. Saya enggak pernah melarang Anete dalam hal bergaul kok, yang terpenting dia selalu ingat batasannya.”
Dan yah, inilah yang membuat Anete bangga mempunyai ibu seperti ibunya. Walaupun ada satu hal yang membuat Anete tak habis pikir dengan sang ibu, tapi lebih ada beribu hal lagi yang membuatnya selalu mengingat akan kehebatan ibunya.
Kehadiran Anete tentu disambut baik oleh keluarganya. Memang, hanya terhitung jari ia mengunjungi rumah besar sang nenek ini jika tidak dengan sang ibu. Memangnya, apa yang bisa ia lakukan di sini sih? Toh Anete lebih bahagia dengan kesendiriannya.
Setelah menghabiskan makan malam, dan membantu sang nenek membereskan meja serta mencuci beberapa piring kotor, Anete pun langsung mengikuti langkah neneknya menuju ruang keluarga. Hampir semua keluarganya pasti akan menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan saudaranya yang lain sebelum beristirahat melepas segala lelahnya.
“Kamu enggak ada acara malam mingguan sama temenmu kan Nete hari ini?” tanya sang kakek dengan senyum singkat di bibirnya.
Anete kontan langsung menoleh ke arah sang kakek dengan tatapan tak percayanya. “Emang enggak pernah ada acara kayak gituan kok kek.”
Sang nenek langsung terkikik geli. “Pas Akas remaja, mana pernah dia malem minggu di rumah Nete. Pacaran mulu dia.” adunya.
Akas yang merasa namanya dibawa-bawa langsung menoleh ke arah ibunda tercinta. “Kok Akas yang dibawa sih? Akas kan cowok, Anete cewek. Ya bedalah. Kalau Anete berani keluyuran malem, aku aduin ke mbak nanti.” sahutnya.
“Makanya itu, Anete kan emang lebih baik tinggal di sini. Lebih terjamin, juga lebih aman nantinya.” usul Sani—tante Anete.
Anete menghela napasnya dengan kasar mendengar usulan sang tante. Ia tahu betul akan kemana arah pembicaraan ini.
“Anete emang sekarang lagi nginep di sini kan? Itu mah terserah Anete San, kita enggak boleh ngekang dia.” sahut nenek Anete dengan santainya.
Ridho sedikit mendengus mendengar sahutan sang ibu yang dari dulu tak pernah berubah. Entah adik, entah keponakannya, mereka berdua selalu menjadi orang tersayang sang ibu. Memangnya apa istimewanya dua orang itu sih? Toh mengabiskan uang saja jika Anete terus tinggal sendiri di rumah yang tergolong besar tanpa sang ibu kan?
“Kita bukannya ngekang bu, Anete kan perempuan. Banyak bahaya di luar sana kalau dia terus-terusan sendiri,” ucap Ridho.
“Semenjak kakak ipar meninggal, Anete bukannya udah tinggal sendiri kan? Sampai sekarang juga dia baik-baik aja. Emangnya apa yang perlu ditakutin sih bang?” tanya Akas tak mengerti dengan jalan pikiran abangnya itu. Memang, dari dulu sampai sekarang, permasalahan abangnya tak pernah berubah. Pantas saja mbaknya memilih pergi dibanding menghadapi abangnya yang tak bisa berpikir jernih. Akas saja sudah lelah sendiri, bagaimana Anete?
“Aku sama mas Ridho juga sayang lho sama Anete. Emang salahnya dimana sih bujukan kita selama ini?” tanya Sani membela diri.
Kakek Anete yang sedari tadi hanya diam langsung menginterupsi seketika. “Kalian bukannya membujuk, tapi justru memaksa Anete yang enggak tahu apa-apa. Dewasa sedikit, malu sama umur kalian.” ucapnya sembari berlalu meninggalkan ruang keluarga dengan santainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Era (TERBIT)
Teen FictionPernah enggak sih gara-gara dicie-ciein kalian jadi suka beneran? Seperti Anete Geffie Abila, yang sayangnya harus baper sama teman kelasnya sendiri-yang sayangnya udah punya gebetan. Mau maju atau mundur tuh? Inginnya maju, tapi tak ingin menyakiti...