Chapter 17 - Rencana

50 5 0
                                    

Dunia kenyataan tak selalu sesuai dengan dunia imajinasi kan?
~

Anete terkadang berpikir, bagaimana bisa ada orang yang kembali bersikap normal setelah melakukan sesuatu hal yang tak biasa sih? Seperti Eshan contohnya. Sejak pagi tadi, ia tak bersikap aneh sedikit pun sejak insiden kemarin. Itu memang baik, tapi—Anete justru merasa berbeda. Tentu saja, hanya Eshan Rayan Alfair yang bisa melihat Anete tengah bersimbah air mata selain kedua sahabatnya. Sedangkan Anete, tengah berpikir keras bagaimana dirinya saat bertatap mata nanti dengan Eshan.

Lamunan Anete langsung teralihkan kala pesanan mereka telah diantar oleh Ibu Kantin. Seketika, perhatian ketiga cewek itu langsung tetuju pada semangkuk soto yang wanginya sungguh menggiurkan.

“Eht Nete, kemarin pulang jam berapa?” tanya Diva setelah selesai menuangkan beberapa tetes kecap dalam sotonya.

Anete yang tengah menunggu Anne selesai menuangkan sambal, langsung mengalihkan perhatiannya seketika. “Habis maghrib kalau enggak salah. Kenapa sih?” tanya Anete penasaran. Diva yang anti organisasi mengapa mendadak kepo begini terhadap dirinya coba?

Diva langsung celingukan seketika. “Gua enggak percaya sih awalnya Eshan chat gua tiba-tiba. Sekalinya chat malah nanyain lo udah pulang atau belum. Kan kirain gua apaan,” jawabnya cuek setelah tak mendapati Eshan sedang nongkrong di kantin sekolah.

“Ngapa enggak chat Anete sendiri coba?” tanya Anne bingung dan langsung menyeruput kuah sotonya kemudian.

Diva langsung cepat-cepat menelan lontong yang tadi dikunyahnya. “Ya mana gua tahu. Tanya aja sama orangnya.”

Speechless. Anete benar-benar mengacuhkan soto yang tadi ingin sekali dilahapnya kemudian. Mengapa Anete jadi terpikiran pada salah satu cowok yang menjadi teman kelasnya itu sih? Kenapa ia tak positive thinking saja jika Eshan takut Anete tak pulang dan memilih tidur di RO kan?

“Harusnya sih enggak perlu tanya. Eshan kan sekarang lagi persiapan buat lomba LKS setiap pulang sekolah di lab. Jadi dia pasti tahu dong Anete udah pulang atau belum, kan deket tuh sama tempat parkir.” celetuk Anne dengan wajah polosnya.

Kening Diva langsung terlipat seketika. “Loh, emang LKS-nya kapan sih? Eshan nih yang ikut?”

Anne langsung mengangguk antusias. “Ya—iyha. Katanya sih bentar lagi. Emangnya siapa lagi yang pantes ikut gituan selain Eshannya Anete sih,”

“Heh, ngomong apa barusan,” sahut Anete tidak terima.

“Lah kan bener, daripada ada yang salah paham karena di sini yang punya nama Eshan banyak kan? Atau—kalian bener ada sesuatu nih?” tanya balik Anne begitu santai.

Anete tak sedikit pun menanggapi pertanyaan Anne. Ia lelah, terus mengklarifikasi hubungannya yang tak dihiraukan sedikit pun oleh kedua sahabatnya itu. Memang benar mereka hanya berteman kan?

Anete—memang sempat baper dengan segala tingkah Eshan yang berhasil menarik perhatiannya. Tapi ayolah, Anete tak pernah sedikit pun berminat menjadi perebut gebetan ataupun pacar orang. Dan tentu saja sekarang Anete menganggap semuanya hanyalah rasa kepedulian seorang Eshan kepada sesama temannya setelah melihat Dea bersama Eshan beberapa kali. Bukannya tak ada sakit yang lebih menyakitkan dibanding ditusuk teman sendiri bukan?

“Argh, tapi gua enggak percaya kalian enggak ada hubungan apa-apa. Masa Eshan sekhawatir itu sih waktu nanyain lo? Fiks, kayanya dia beneran ambil hati sama lo Nete.”

Siram saja Anete dengan segelas es teh yang ada di hadapannya biar pikirannya menjadi sedingin es barusan. Kenapa Diva harus mengatakan hal aneh yang berhasil membuat Anete kepikiran sih?

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang