Chapter 23 - Cerita Lama

41 8 0
                                    

Tak peduli apa kata orang tentang masa lalumu, yang terpenting hari ini aku masih bisa bersamamu.
~

Suasana masih panas. Lab TAV masih terlihat melelahkan seperti biasanya. Dan sialnya, Pak Dio justru membuat suasana siang ini bertambah berisik dengan petikan gitar listriknya yang berhasil membuat anak-anak langsung berhamburan mendekat melihat konser dadakan itu.

Eshan mendesah pelan, suara petikan yang terdengar luar biasa itu justru terasa meresahkan di pendengarannya. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di benaknya semenjak insiden ia menghubungi Anete waktu lalu. Dan Entah mengapa, pikirannya langsung menyuruh Eshan bangkit begitu melihat Anete tengah duduk manis sembari fokus memandangi handphone-nya yang entah berisi apa.

Sial, pikiran dan hatinya sedang tidak sinkron saat ini. Pikirannya menyuruh bangkit, tapi hatinya menyuruh untuk diam. Memangnya apa yang akan ia katakan jika Anete menanyakan mengapa ia mengungkit hal sepele yang mungkin terasa janggal di benak Eshan sih? Ya kali dia mengatakan kalau Eshan tak kuat membayangkan raut wajah tak suka Anete setelah mengangkat teleponnya. Memangnya Eshan siapanya Anete sih?

“Enggak ikutan?” tanya Eshan sembari mengedikkan dagunya pada kerumunan anak-anak kelasnya.

Anete langsung mendongak. Tanpa diminta, keningnya langsung berkerut melihat Eshan yang sudah menjulang di hadapannya dan langsung beralih menduduki kursi kosong di hadapannya. “Males.” jawabnya kelewat singkat yang justru terdengar jutek bagi Eshan.

“Nete, boleh tanya?” tanya Eshan lirih sembari menatap lekat Anete yang masih sibuk dengan kegiatannya.

Anete langsung mengalihkan perhatiannya kemudian. Bagaimanapun juga, suara lirih Eshan itu masih bisa didengarnya dalam jarak sedekat ini. “Ya—silahkan.”

Eshan sempat menelan salivanya dengan susah payah kemudian. “Lo enggak papa kan setelah gua telepon kemarin?” tanyanya sungkan sembari menatap Anete yang sempat kaget mendengar pertanyaannya.

“Kenapa? Emangnya gua harus ngapain?” tanyanya dengan bingung sembari mati-matian menahan dirinya untuk tidak menggeplak Eshan saat itu juga.

Eshan langsung menaikkan sebelah alisnya seolah berfikir. “Ya, siapa tahu lo ngerasa gimana gitu waktu gua telepon cuma buat minta tolong,”

“Penting banget yah?” tanyanya cepat sebelum Eshan melanjutkan kalimatnya.

Entah mengapa, mendapati raut wajah Anete yang sedikit berubah itu membuat rasa janggal di benak Eshan langsung menguar seketika. “Kalau penting, lo mau jawab?” tanya Eshan balik dengan senyum di bibirnya.

Anete langsung mendengus setelahnya. Mengapa Eshan selalu mengesalkan sih? Lagi pula, apa faedahnya dia menanyakan hal sepele seperti ini sih? Please deh, jangan bikin anak orang melayang semaunya. “Buat apa sih Shan? Kayak enggak ada pertanyaan lain aja loh,” protesnya mengalihkan perhatian.

“Ya emang enggak ada Net, ini tuh yang bikin gua uring-uringan dari lama. Lebih dari dengar kabar Dea yang enggak pulang-pulang.”

Tanpa sadar, Anete langsung mengalihkan perhatiannya dari sesosok makhluk yang suka seenak jidatnya itu. Harusnya sih Anete sadar kan, kalau sedari tadi Eshan membicarakan hal yang menyangkut Dea?

“Gua takut kalau lo jadi ngerasa kesel setelah denger gua ngomongin Dea lagi dan lagi.”

Kernyitan di dahi Anete otomatis terlihat. “Kok jadi mikir ke situ sih Shan?” tanya Anete dengan frustasi. Come on, memang raut wajahnya tidak terlihat enggan setelah kedatangan Eshan barusan yah? Anete rasa sih, enggannya sampai tidak patut diperlihatkan.

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang