Chapter 16 - Hal Tersulit

65 6 4
                                    

Melupakanmu bukanlah hal tersulit bagi diriku, melainkan menganggapmu tak berarti apa-apa saat kau tahu sendiri, dirimulah yang memberiku segalanya.
~

Dua hari lagi, kegiatan LDK yang telah dinantikan para CPO dan panitia itu akan segera dilaksanakan. Tapi sayangnya, Kepala Sekolah baru saja memanggil Ali ke ruangannya. Bukannya untuk mempermudah, melainkan untuk mempersulit keadaan dengan meminta lokasi LDK dirubah menjadi di dalam sekolah saja, bukan di tempat yang sudah sebelumnya mereka ajukan. Hellow, kenapa baru sekarang Bapak Kepala Sekolah yang terhormat itu memberi mandat sih? Kenapa tidak sedari mereka mengajukan proposal yang berujung diberikan tanda tangan tanpa banyak tanya? Boleh tidak sih ini anak-anak curiga Kepala Sekolah telah disuap seseorang yang tak ingin melihat anak OSIS me-refresh otaknya dengan mengadakan acara di luar sekolah?

Bukan hanya Anete, tapi rekannya yang lain pun mendadak diserang pusing tak berkesudahan yang menyakitkan, apalagi Ali—yang sudah disemprot habis-habisan oleh bapak tercinta. Alamak lembur ini dah semuanya.

Mendadak, sosok mendiang ayahnya serasa mampir ke dalam pikirannya. Dan Anete baru ingat, kedatangannya ke Ruang OSIS ini guna meminta izin sang ketua untuk pergi sebentar mengunjungi sang ayah. Tapi sialnya, niatnya sedikit terhalang begitu melihat Ali yang tengah misuh-misuh di dalam ruangan. Dipandanginya satu per satu rekannya itu, semuanya terlihat lelah. Anete jadi tidak enak sendiri. Tapi yah mana mungkin dia melewatkan hari spesial yang akan datang hanya satu kali dalam setahun ini? Persetan, biarkan Anete egois untuk kali ini saja.

“Al,” panggil Anete begitu lirih.

Ali yang merasa terpanggil pun langsung menoleh ke arah Anete dengan tatapan dinginnya. Tak sekali pun Anete maupun yang lain melihat tatapan sedingin itu dari sang ketua.

“Gua mau izin pergi sebentar. Nanti, gua balik lagi ke sini kok.” ucap Anete seolah mengerti maksud dari tatapan Ali yang tak enak dipandang mata itu.

Tanpa disangka, Ali langsung mendengus seketika. “Lo mau pulang duluan setelah tahu rencana kita harus dirombak habis-habisan?” tanya Ali dengan nada tingginya.

Anete langsung terkesiap seketika. “Al—“

“Lo mau ngapain sih pulang duluan? Tolong lah Nete, ini acara terakhir kita, mana profesional lo? Gua tahu lo punya kepentingan sendiri, tapi ya kali lo enggak sadar sama usaha kita yang udah capek mati-matian gini.”

Anete sungguh tak percaya pada seseorang yang baru saja mengatakan kalimat semenyakitkan itu. Sepanjang ia menjabat di organisasi ini, Ali selalu terkenal dengan sikap tenangnya. And see? Sepertinya Anete salah sangka.

Ayu—wakil Ali yang sedari tadi ada di samping Ali langsung mengelus pelan bahu Ali guna menenangkan. Tapi dengan entengnya, Ali langsung menepis tangan mungil itu dengan cepatnya.

“Nete—enggak bisa ditunda dulu yah?” tanya Ayu hati-hati takut tambah memperkeruh suasana.

Anete langsung menatap Ayu setelahnya. “Enggak bisa Yu. Gua mau ke makam ayah.”

“Ziarah bisa kapan-kapan Nete. Tapi acara kita dua hari lagi. Mikir enggak sih lo sama acara kita?”

Kali ini bukan hanya Anete yang terkesiap, tapi hampir semua anak yang ada di ruangan itu langsung kaget seketika. Ini benaran Ketua OSIS mereka bukan sih?

“Tentu aja gua mikir. Kalau enggak mana mau gua bantuin kalian dari awal.” Keluar sudah segala keterdiaman Anete. “Gua cuma izin bentar Al, ini gua mau ziarah. Lo enak mau ketemu ayah lo kapan aja. Please lah, ngertiin gua Al. Cuma kali ini aja kan?”

“Ngertiin lo? Lo, yang enggak mau ngertiin kegiatan kita. Seenak jidatnya lo lebih milih kegiatan pribadi lo dibanding kepentingan kita? Mana profesional yang dulu lo agung-agungkan?”

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang