Chapter 28 - Konspirasi

37 5 0
                                    

Semesta begitu baik, mempertemukan kembali yang belum usai.
~

Hari minggu. Kata siapa Anete bisa menghabiskan waktunya hanya untuk mengacak-acak tempat tidur di hari yang kebetulan berwarna merah ini? Sama sekali tak sesuai dengan kenyataan.

Karena apa? Tenaganya sudah jauh terkuras sejak mentari baru saja memancarkan sinarnya. Dan yah, Anete merasa lelah jika hari minggu sudah datang menggantikan weekdays yang juga membuatnya lelah.

Anete langsung mengusap peluhnya. Memasukkan helaian rambutnya yang sudah keluar tanpa aturan dari kerudungnya. Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya langsung tertarik begitu melihat rumahnya yang sudah bersih dan rapi sehingga enak dipandang.

Keningnya langsung mengernyit. Seingatnya, ia tak pernah menyimpan foto di gudang yang dijadikannya tempat penyimpanan alat kebersihan ini. Tanpa sadar, tangannya langsung terulur mengambil figura yang sudah berdebu itu.

Maniknya langsung melebar. Anete serasa baru saja tersetrum ratusan volt hingga membuatnya tak bisa berkutik. Salivanya langsung tertahan di puncak kerongkongan tanpa dia sadar.

Anete tak salah lihat kan?

Dengan cepat, ia langsung melangkahkan kakinya menuju ruang tengah dimana handphone-nya disimpan.

Tok tok

Anete langsung merengut. Siapa pula yang bertamu pagi-pagi, argh ternyata sudah hampir siang. Mengurungkan niatnya yang ingin bertanya pada sang ibu atau tidak pamannya, Anete langsung berjalan menghampiri pintu.

Sumpah demi apa, mengapa Fardhan senang sekali membuatnya kaget sih? Untung saja Anete tidak latah, jika iyha, harus ditaruh dimana mukanya?

“Assalamu’alaikum, ganggu yah?” salamnya dengan sopan, lengkap dengan senyumnya yang selalu menawan.

Anete bergeming. Masih tak percaya bahwa yang saat ini berdiri di depannya adalah cowok yang selama ini mengisi hari-harinya.

Fardhan langsung terkekeh. Mengibaskan tangannya di depan wajah Anete tanpa sungkan. “Tau sih gua ganteng. Tapi kedip dong Nete, ngeri gua lihatnya.”

Anete langsung mengembuskan napas dengan kesal. “Wa’alaikumsalam,” jawabnya tanpa senyum sama sekali. “Pagi bener sih Dhan, kayak enggak ada hari aja.”

“Udah siang begini kok. Kenapa? Belum mandi makanya takut kelihatan enggak cantik depan gua?” tanyanya sembari tersenyum jahil.

Anete langsung melotot. Tak terima dengan tebakan Fardhan yang benar-benar tak ada dalam kamusnya. “Ngarep bener sih,” ujarnya tak terima. “Ada kepentingan apa hari minggu begini datang ke sini?”

Fardhan langsung tersenyum. “Enggak dibiarin masuk dulu? Masa tamunya di depan pintu gini sih? Enggak elit banget.”

Anete langsung berdecak. Tangannya langsung terulur membuka pintu rumahnya lebih lebar lagi.

Dengan senyum yang belum surut, Fardhan langsung melangkahkan kakinya memasuki rumah Anete untuk pertama kalinya. Yah, sebelumnya ia hanya bisa sampai di depan rumahnya saja. “Ke pameran yuh Nete? Enggak jauh loh,” ajaknya menjawab pertanyaan Anete.

“Hah?”

Senyum Fardhan benar-benar tak bisa luntur jika sudah bertemu Anete. “Main yuh? Enggak pernah loh kita main pas weekend gini,” jawabnya tak mempedulikan raut wajah Anete yang seketika mengeruh.

“Pameran apa emangnya?” tanya Anete penasaran.

Fardhan seketika merogoh saku celananya guna mengambil handphone miliknya. Tak berselang lama, ia langsung menyodorkan benda canggih itu ke hadapan Anete. “Gua yang enggak ngerti seni aja tertarik, masa lo yang paham gitu enggak sih? Lumayan loh Nete, bisa cuci mata.” bujuknya.

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang