Chapter 13 - Elemen Pendukung

59 9 2
                                    

Entah dasarnya aku yang terlalu peka, atau memang kebenarannya sih? Kenapa alam seakan merestui kedekatan kita coba?
~

Sebagai murid kelas XII, Anete dan rekannya lebih sering bertandang ke Lab dibanding belajar di dalam kelas. Seperti saat ini, hampir sebagian anak kelas Anete tengah sibuk dengan project-nya yang belum selesai, dan sebagiannya lagi tengah leha-leha mengistirahatkan otak.

Hari masih terlalu pagi untuk bisa merasakan panas, tapi Anete dan dua sahabatnya sudah mem-booking kursi tepat di bawah kipas angin untuk mengusir rasa panas yang entah mengapa bisa mereka rasakan di pagi hari seperti ini. Gimana enggak panas? Anak-anak mondar-mandir mulu membuat mereka yang sedang bersantai jadi pusing setengah mati. Belum lagi teriakan anak-anak cewek yang meminta ini-itu tanpa mau mengambilnya sendiri. Anete memang beruntung yah, bisa satu kelas dengan orang-orang yang langka.

“Udah selesai Nete?” tanya Pak Satria sembari menduduki bangku kosong di samping Anete.

Anete, Diva, dan Anne yang tadinya sedang sibuk dengan obrolannya langsung mengalihkan perhatiannya seketika. “Alhamdulillah udah pak.” jawab Anete dengan sopannya.

“Gimana, lancar kan selama praktek? Apa ada keluhan?” tanya Pak Satria sembari memandangi anak-anaknya bergiliran.

Anete tampak berpikir setelahnya. “Hmm, kalau keluhan sih pasti ada pak. Tapi si belum ada yang gawat banget, masih bisa tanya yang lain kok.”

“Eshan kan udah pro ya Nete,” sahut Pak Satria dengan senyum gelinya. “Rumahmu di mana si Nete? Deket sama Anne?”

“Jauh pak. Di komplek Melati.”

“Nah kalau kamu di mana Shan?” tanya Pak Satria sembari melongok Eshan yang ternyata duduk di depan Anete, yang hanya dipisahkan oleh meja praktek.

Eshan yang tadinya sedang mengajari salah satu temannya langsung mendongakkan kepalanya seketika. “Apaan sih pak,” jawab Eshan sedikit risih. Tentu saja Eshan ingat, Pak Satria sudah sering kali menanyakan hal seperti ini kepada anak-anaknya. Pasti dia memiliki maksud lain.

“Di komplek Mawar pak,” jawab Cetta tanpa diminta.

Senyum kemenangan Pak Satria langsung terbit setelahnya. “Lah, tinggal turun sedikit aja itu kan udah langsung nyampe di rumahnya Anete.”

Anete langsung menoleh ke arah Pak Satria seketika. “Loh, kok saya si pak?” tanya Anete tak mengerti.

“Loh, memangnya kamu maunya dijengukin siapa? Udah ada gebetan? Apa Eshannya yang main belakang Nete?” tanya Pak Satria tersenyum geli.

“Ya—enggak ada. Tapi kan enggak perlu bahas sampai situ pak,” jawab Anete sedikit risih. Bukannya memaklumi Anete yang sedang tak enak hati, dua sahabat serta temannya yang lain justru sedang cekikikan mendapati ekspresi Anete juga Eshan yang sungguh menarik perhatian.

“Kalau mau lihat Anete ya lihat aja Shan, jangan curi-curi pandang gitu lah,” goda Pak Satria yang berujung membuat cekikikan anak-anak berubah menjadi tawa seketika.

Anete langsung meringis seketika. Kenapa ada guru yang suka menggoda anaknya sendiri sih? Kalau sekali sih Anete tak masalah, ini sudah berkali-kali loh.

“An,” panggil Pak Satria.

Anete—juga Eshan langsung mendongakkan kepalanya kemudian. “Iyha pak?” tanyanya bersamaan. Kan-kan, Pak Satria itu suka sekali memanggil lain nama orang lain. Terkadang ia jadi suka memanggil An pada Anete dan Eshan di satu waktu.

“Tuh kan, barengan,” godanya sekali lagi. “Habis lulus mau kemana Nete?” tanyanya kemudian.

Anete tak langsung menjawab pertanyaan Pak Satria. “Penginnya sih kerja dulu pak,”

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang