Chapter 4 - Dunia Milik Bersama

94 12 2
                                    

Bukan dunia namanya jika kita mampu mengatur apa yang pantas terjadi pada kehidupan kita.
~

Menimba ilmu di sekolah yang letaknya lumayan jauh itu memiliki keuntungan tersendiri bagi seorang Rafardhan Athalla. Bisa belajar, sekaligus menyegarkan pikiran di daerah seberang itu merupakan keuntungan yang ia rasakan selama ini. Tapi lain halnya jika jalan mulusnya saat pulang itu harus terganggu hanya untuk mengambil pesanan kue sang ibu di tempat langganannya yang memang satu arah dengan jalan pulangnya. Tapi ayolah, jika jumlahnya sedikit pun Fardhan tak akan ambil pusing, tapi ini? Cukup Fardhan yang tahu bagaimana bonusnya. Lagi-lagi ia harus mendesah jengkel kala mengingat uangnya tak cukup bersisa saat membayar fotocopy keperluan jobsheet-nya tadi.

Ckiiit

Ia langsung menghentikan motornya di tempat kosong yang memang sudah dijadikan tempat parkir suatu ATM. Ia sempat menyugar rambutnya yang tampak berantakan setelah melepas helm, yang sudah menjadi kebiasaan dirinya.

Kaki jenjangnya langsung melangkah mendekati beberapa orang yang memang sepertinya sedang mengantre. Dan maniknya serasa terpaku kala mendapati sesosok cewek yang tergolong pendek di matanya itu juga tengah mengantre tak jauh darinya, jua mengenakan seragam yang tengah ia kenakan sekarang. Belum juga ia bisa menuntaskan rasa penasarannya, cewek tadi keburu masuk ATM setelah melihatnya dengan sekilas.

Fardhan langsung menggelengkan kepalanya tidak percaya. Sejak kapan seorang Fardhan tertarik pada cewek yang satu sekolah dengan dirinya eht?

Belum juga ia selesai dengan lamunannya, cewek tadi sudah keluar dan berlalu pergi melewatinya tanpa melirik ke arahnya sedikit pun. Ternyata, dia menghampiri sebuah motor matic yang ternyata terparkir di samping motornya. Girly, batinnya.

Fardhan langsung mengalihkan perhatiannya cepat-cepat dan melirik jam tangannya kemudian. Eht? Sesuatu tampak menarik perhatiannya di bawah sana. Fardhan langsung melipat kedua lututnya dan memungut benda itu kemudian. Anete G. Gantungan kunci yang unik dan nama yang—bagus. Milik siapakah ini? Fardhan langsung celingukan seketika. Di sana hanya tersisa ibu-ibu juga mbak-mbak yang terlihat tidak membawa apa-apa. Eht, apa milik cewek tadi?

***

Suasana ramai itu sudah menjadi hal biasa di kelas Eshan, kalau sepi baru perlu dipertanyakan. Apalagi jumlah populasi lelaki yang jauh lebih banyak dibanding perempuan, tentu saja hal itu sudah menegaskan bahwa kesunyian itu mustahil melingkupi kelas Eshan.

Hari sudah tak lagi menunjukkan pagi. Wajah-wajah temannya sudah menyiratkan kelelahan dan kerinduan pada rumah tercinta begitu teramat. Bisingnya suara kendaraan yang lalu lalang serta panasnya cuaca seolah sudah menjadi pengiring waktu selama Eshan menghabiskan waktunya setengah hari di sekolah tercinta.

Para cowok yang sibuk dengan game-nya masing-masing, dan para cewek yang sibuk dengan obrolan serunya. Eshan, tersenyum samar melihat itu semua. Pasti suatu saat nanti ia akan merindukan moment berharga ini.

“Emangnya gua dapet apaan sih kalau nge-game eht?” tanya Cetta pura-pura penasaran dengan wajah datarnya. Hellow, Eshan sendiri pun sadar betul Cetta menanyakan hal itu setengah hati. Dari semua populasi lelaki di kelasnya, mungkin hanya ada beberapa cowok saja yang tidak menyukai game, termasuk Eshan dan Cetta salah satunya.

“Lo dapet pelampiasan untuk menuntaskan segala gundah gulana lo,” jawab Andre setengah berbisik tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar handphone-nya sedikit pun.

Cetta hanya geleng-geleng kepala menanggapi jawaban Andre yang mungkin akan memuaskan diri Andre saja, bukan Cetta juga. “Daripada buang-buang kuota gua yang limited, mending gua godain Eshan sama Anete yang mungkin akan berujung traktiran makan-makan yang bisa bikin gua kenyang lah Ndre.” sahut Cetta sembari mengerling jahil ke arah Eshan.

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang