Chapter 2 - Random

127 18 5
                                    

Rasanya begitu nano-nano setelah melihat segala dugaan itu justru membuat kita terjebak pada sesuatu yang masih terlihat acak.
~

Menjadi anak teknik itu banyak suka dukanya. Selain dijudge jadi anak yang berantakan dan tak memperhatikan penampilan, anak teknik pun harus siap jika mendapatkan nyinyiran tak mengenakkan yang sungguh membuat Anete salah satunya ingin melemparkan sepatunya saking kesalnya. Iyah, semasa Prakerin dulu.

Tak hanya itu, ia pun harus siap saat disandingkan dengan para lelaki yang kebanyakan menghuni kelas Teknik Audio Video ini. Maklum, ceweknya bisa dihitung pakai jari. Seperti saat ini, bukannya mengerjakan tugas, para rekan ceweknya justru sibuk berswa foto dengan handphone-nya.

Anete menggeram kesal. Bukannya sok pintar maupun sok rajin, tapi sungguh ia tak ingin gelisah belakangan saat tugasnya diminta untuk dikumpulkan. Maklum saja, otaknya itu pas-pasan jika menyangkut hal teknik yang di luar nalar. Gimana bisa di luar nalar? Materi ini hanya bisa dipahami oleh mereka-mereka yang terbiasa berkutat dengan alat teknik yang memang tak dipegang Anete jika di luar rumah.

“Gua enggak ngerti,” keluh Anete sembari menelungkupkan kepalanya dengan lelah.

Diva yang sedang menyalin jawaban separuh tugas Anete pun langsung menolehkan kepalanya seketika. “Udah sih Net, kalau enggak bisa ya enggak perlu dipaksa. Tinggal lihat yang lain kok.” saran Diva begitu santai.

“Gimana mau lihat, yang lain aja sibuk sama urusannya sendiri,” sungut Anete seketika.

Anne langsung menghela napasnya dengan kasar kala melihat kedua sahabatnya itu mulai berdebat. Diva yang kelewat santai, dan Anete yang kelewat rajin di saat tertentu. Perbedaan yang benar-benar cocok. “Ssst, udah deh enggak usah kayak anak kecil. Kalau enggak bisa ya tinggal tanya sama masternya kan bisa. Tuh, si Eshannya ada,” saran Anne kemudian.

“Tanya aja sendiri.” sahut Anete dan Diva bersamaan yang sontak membuat temannya yang lain melirik penasaran.

Anne langsung menyengir canggung seketika. “Iyha dech iyha,” ucapnya mengalah. “Shan, ini nomor 8 gimana sih, Anete enggak paham nih?” tanya Anne setelahnya.

Anete langsung mendelik seketika. “Kok cuma gua sih?”

Senyum tertahan Eshan langsung bisa ditangkap Cetta dengan mudahnya. “Kalau lo yang nanya kan Eshan bakal langsung jawab Nete.” jawab Cetta dengan senyum jahilnya.

“Enggak usah mulai dech Ta,” peringat Eshan kemudian. “Tadi nanya apa An?” tanya Eshan memastikan.

“Nomor 8.” jawab Anne dengan cepatnya.

Eshan tampak membuka handphone-nya sejenak. “Kata Pak Abidin sih tinggal milih mau yang sistem kecil, menengah, atau yang besar. Nanti tinggal dijelasin gitu.”

“Berarti yang nomor 8 pakai sistem kecil dong, pesertanya sedikit kan, terus juga ini masuknya indoor bukan sih? Kalau nomor 9 baru yang sistem besar, kan masuknya outdoor tuh, pesertanya banyak.” sahut Anete setelah mengamati materi PDF tentang Perencanaan Tata Suara yang baru saja Pak Abidin share di group kelas.

Eshan tampak mengangguk-anggukan kepalanya pelan sebagai respons. “Kayaknya sih gitu. Pak Abidin juga bilangnya ini condong ke sistem kecil atau enggak besar. Ini di soalnya juga lumayan jelas kok clue-nya. Gitu kan Nete?” tanya Eshan sembari melirik Anete untuk memastikan.

“Beuuuuh, udah kayak lihat pasangan lagi diskusiin materi deh. Sumpah, sweetnya beda.” ucap Andre mendahului Anete yang hendak menjawab pertanyaan Eshan.

“Iyha nih. Udah namanya mirip, sama-sama pinter, sama-sama pendiem, kurang cocok apa lagi coba?” lanjut Diva dengan senyum jahilnya.

“Apaan sih, berisik dech.” tepis Anete dan Eshan bersamaan.

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang