PROLOG

269 31 1
                                    

Dikibaskannya buku materi produktifnya itu di depan wajahnya dengan harapan bisa memberikan hawa sejuk walau sebentar saja. Tapi nihil. Bukan saja tubuhnya yang terasa panas, tapi kepalanya serasa mau meledak melihat gambar layoutnya yang tak jua selesai-selesai. Astaga, baru masuk kelas XII saja rasanya Anete ingin pulang di setiap detiknya.

“Net, ini gimana coba? Bener kek gini?” tanya Diva sembari memperlihatkan buku semilogaritmik yang tertera layout buatan Diva di atasnya.

Anete tampak menghentikan kegiatan mengibasnya itu sejenak dan mencocokkan layout Diva dengan miliknya kemudian. “Ini resistornya geser dikitan deh Div. Ini kan jalurnya enggak nyambung jadi harus lewat sini.” jawab Anete sembari menunjukkan jalur yang dimaksudnya tadi.

Diva langsung mengangguk paham setelahnya. Baru saja Anete dan Diva hendak melanjutkan kembali kegiatan menggambarnya itu, kalimat Pak Satria langsung menginterupsi kegiatan mereka berdua.

“Kalau dilihat-lihat, Diva sama Rio itu enggak cuma namanya aja yang sama, tapi wajahnya juga mirip loh ternyata.” ucap Pak Satria diiringi senyum gelinya.

Suasana kelas yang tadinya hening kini langsung ramai seketika oleh satu dua godaan yang bersahutan—yang tentu ditujukan untuk Diva dan juga Rio. Diva Tiara Terentia, dan Diva Mario A. Faulo. Lumayan klop enggak tuh?

Semburat merah langsung tampak di kedua pipi Diva seketika. Karena salting, ia langsung menutupi wajahnya setelahnya. Entah karena malu, atau memang Diva terlalu baper dengan kalimat Pak Satria barusan. Sedangkan Rio? Ia hanya cengar-cengir gaje menanggapi godaan salah satu guru produktifnya, yang berhasil membuat hawa panas di siang ini justru bertambah seketika.

Baru saja Anete hendak menghentikan kekehan gelinya, Pak Satria justru kembali melanjutkan kalimatnya yang sempat tertunda.

“Enggak cuma Diva aja, Eshan sama Anete juga mirip loh,” ucap Pak Satria sembari menatap Eshan dan Anete bergantian dengan tatapan menggodanya. “Shan—“ panggil Pak Satria sembari melirik Eshan. “Nete.” lanjut Pak Satria sembari mengalihkan perhatiannnya pada Anete yang berhasil membuat penghuni kelas itu langsung ramai menggoda seketika.

Kini tak hanya Diva, tapi Anete juga diam-diam tengah menahan malu lebih dalam lagi. “Astaga, apa-apaan sih pak,” protes Anete dengan tatapan tak terimanya yang justru menimbulkan sorakan lebih keras dari teman-temannya.

Tak jauh beda dari Anete, kini Eshan pun diam-diam tengah meretuki nasibnya yang mengapa harus memiliki nama seklop itu dengan teman kelasnya. Anete Geffie Abila.

***

Prolognya aja dulu deh. Chapter satunya nunggu lain hari yah.

Gimana? Udah paham ceritanya akan dibawa kemana?

Sumpah, masih suka senyum-senyum sendiri ternyata kalau ingat momen ini. Hah, jadi rindu mereka.

Happy reading kawan-kawan.

Lanti😘

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang