Chapter 30 - Tanjakan Pertama

42 7 12
                                    

Ku kira semuanya akan jauh lebih mudah setelah membuka gerbang hatimu. Nyatanya, perjuanganku belum seberapa dari sepertiga usahamu.
~

Rumah Anete begitu sepi. Tentu saja, Anete selalu menghabisakan waktunya sendiri di dalam rumah tercintanya—bukan, rumah pemberian neneknya yang terpaksa ia tinggali dan meninggalkan rumah penuh kenangannya bersama kedua orang tuanya.

Semilir angin malam tetap saja menyapa kulit Anete yang sudah terbalut kaos panjang. Dentingan jarum jam tak jua berhenti. Maniknya tak sengaja menangkap jarum jam di dinding ruang tengahnya yang sudah menunjuk angka 9.

Anete tak pernah takut dengan hal berbau horor, tapi—ia memang sepenuhnya percaya jika ia pasti hidup berdampingan dengan makhluk lain. Asal ia tak sengaja mengganggu, semuanya pasti akan baik-baik saja. Yang ia takutkan justru ibunya tiba-tiba pulang atau keluarganya yang lain berkunjung disaat Anete tengah berusaha menuntaskan rasa penasarannya.

Ayolah, Anete tak pernah mau keluar dari zona nyamannya tanpa berpikir panjang. Pun ia takkan mau menginjak teritori orang lain tanpa seizinnya. Dengan susah payah, Anete meneguk salivanya dengan kasar begitu membuka pintu kamar utama—yang tentu ditempati sang ibu, seorang diri semenjak kepergian ayahnya.

Ada hawa aneh yang Anete tangkap di ruangan ini. Ruang hampa yang tentu butuh sentuhan kasih. Seperti dirinya bukan?

Mengabaikan segala rasa yang menggelayutinya, Anete langsung berjalan menuju nakas samping tempat tidur. Dalam hati, Anete sempat tertawa miris. Tak ada satu pun foto yang terpasang di dinding kamar ini. Bukankah di rumah ini tak ada satu pun memori yang ibunya inginkan untuk diabadikan bukan?

Tangan Anete langsung gemetaran. Begitu mendapati satu foto yang di dalamnya masih berisi orang yang sama. Ayah, wanita yang katanya sahabat ibunya, juga seorang anak perempuan yang masih memiliki paras yang sungguh menawan. Ternyata sudah sejauh ini ayahnya memberikan goresan hmm? Jika tak ingat siapa yang ada dalam foto ini, ingin sekali Anete mencubit pipi anak itu yang terlihat begitu menggoda. Tapi segera Anete urungkan niat tak warasnya. Bagaimanapun, amarah ini tetap saja membumbung walau kelurganya sudah berkali-kali mengatakan, jika ayahnya sudah memiliki istri lagi.

Maniknya tak sedikit pun beralih. Terus menatap kedua manusia yang sudah dewasa itu dengan tatapan yang entah apa artinya. Sang wanita dengan senyum menawannya, dan sang ayah yang tetap dengan wajah datarnya. Argh, Anete jadi merindukan senyum ayahnya.

Tangan kanannya langsung beralih menghapus setetes air mata yang berhasil luluh. Ini belum waktunya Anete menitikkan air matanya kan? Yah, dengan cepat ia letakkan foto itu dengan sembarang. Ditelitinya laci di depannya itu yang terlihat penuh oleh kertas-kertas. Manik Anete langsung memicing, begitu melihat amplop berwarna cokelat yang hanya terlihat ujungnya. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung mengambilnya kemudian.

Jantung Anete serasa terjun bebas. Detak yang tadinya menggema serasa berhenti sekejap tanpa ia minta. Air matanya langsung luruh dengan cepatnya. Apa lagi ini? Kenapa Tuhan gemar sekali memberinya kejutan yang terasa menyakitkan?

Tanpa menunggu tulisan yang semakin memudar karena air matanya, Anete langsung membuka amplop tadi. Seharusnya tidak perlu. Sebab Anete paham betul apa isi amplop yang di luarnya terdapat tulisan Pengadilan Agama itu. Anete hanya ingin memastikan, dugaannya yang bisa saja terbantahkan.

Tangis Anete tak bisa lagi ditahan. Semesta lebih suka memberinya kejutan dibandingkan mengabulkan harapan. Badannya langsung luruh. Seperti harapannya yang takkan bisa lagi terkabulkan. Ayah yang ia jadikan sebagai pahlawan, juga ibu yang ia jadikan panutan, ternyata sempat merencanakan perpisahan yang nyatanya dikabulkan Tuhan secara lebih menyakitkan. Mengapa ibunya tak pernah mengatakan? Jika dirinya sudah mendapatkan panggilan untuk sidang perceraian? Anete rasa lebih baik ia mendengar keinginan berpisah secara hukum dan agama ini daripada melihat ayahnya pergi karena panggilan Tuhan.

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang